Lihat ke Halaman Asli

Aku Tidak Bisa Lupa

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Aku selalu jatuh cinta pada senyumnya. Bibirnya yang tipis merekah dan memamerkan gigi-giginya yang rata. Manis sekali. Aku sudah lama sekali mengagumi senyumnya dan tak jarang aku berusaha menciptakan senyum itu dari wajahnya.

Suatu malam dia mengajak aku duduk dibawah pohon dipinggir jalan. Saat itu aku sedang lelah karena berbagai kegiatan yang aku lakukan di sekolah. Dia memarkir motor dan lalu duduk diatasnya sementara aku duduk di trotoar. Seperti biasa, ia menyulut korek dan membakar rokoknya yang hanya sebatang. Aku selalu memperhatikan bagaimana caranya menghisap rokok itu; bagaimana bisa semanis itu? Ah mungkin karena aku sudah terlanjur mengaguminya. “Kenapa kamu enggak ngelarang aku ngerokok?” tanyanya tanpa melihat kearahku. Aku mengangkat kedua bahuku–meski ia tidak melihatnya–sebelum menjawab “Percuma ngelarang kebiasaan yang sudah mendarah daging”. Ia menghisap rokoknya lagi lalu menghembuskan asapnya pelan-pelan sekali.

“Kamu enggak sayang dong sama aku?” tanyanya lagi “Kamu ngebiarin aku ngerokok” katanya melanjutkan seraya memantik ujung rokok. “Bego. Kamu yang enggak sayang sama dirimu sendiri” jawabku asal sambil melihat keramaian jalanan. “Kamu enggak sayang sama aku” tegasnya lagi. Aku hanya menyerngitkan dahi. Dia lalu memandangku, menjulurkan tangan kanannya dan berkata “Selamat dua bulan sayang”. Aku memukul dahiku sebelum akhirnya menyambut tangannya. Dia hanya tertawa. “Aku capek” hanya itu yang bisa kukatakan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline