Semangat keberagamaan menjadi indikator penting yang menempatkan Indonesia dalam rangking ke 3 menurut Pew Research Center Tahun 2015. Hal ini sekaligus membenarkan potensi terjadinya politik identitas negeri ini. Dalam kehidupan sehari-hari, hingga dinamika proses politik bumbu "agama" menjadi hal yang biasa. Seringkali politik identitas diperuncing sehingga menimbulkan polarisasi dalam masyarakat.
Padahal pada esensi dasar negara Pancasila, politik identitas adalah persatuan. Bukan sebuah perbedaan yang harus perunding sehingga menimbulkan konflik dan pertikaian. Catatan hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA bahkan memperlihatkan angka penurunan jumlah publik yang mendukung Pancasila. Di sisi lain ada peningkatan jumlah masyarakat yang menginginkan Indonesia berdasarkan NKRI bersyariah (Pro-NKRI bersyariah).
Dalam survey tersebut, disebutkan adanya penurunan pada 2005 hingga 2018 terhadap pihak yang pro pancasila. Jika di tahun 2005 sebanyak 85 persen sekarang ditahun 2018 tinggal 75 persen.
Kondisinya tentu dipicu oleh narasi-narasi politik identitas negatif yang muncul pasca tahun 2015. Hal ini diperparah dengan kondisi sosial masyarakat yang seolah dihadapkan dengan sedikit pilihan. Padahal politik identitas negatif sangat efektif disaat kondisi pilihan yang terbatas.
Gerakan 212 sebuah gerakan politik?
Sebenarnya gerakan ini tidak jauh beda dengan gerakan massa lainnya di negeri ini. Tapi apa yang menjadikannya istimewa, tidak lain karena ada aktor politik didalamnya.
Cermati saja, apabila menurut Kompasianer itu luas Lapangan Monas sekitar 800x600 meter=480.000 M2. Berdasarkan luasnya area tersebut maka Syarifuddin Abdullah memperkirakan kalau massa penuh sesak sampai meluber ke Jalan Medan Merdeka Utara - Timur - Selatan - Barat maka kapasitas maksimal massa yang hadir sekitar 480.000 orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H