Persoalan terbesar dalam implementasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak Anak (CRC) adalah kentalnya budaya paternalistik sebagai struktur yang kaku, yang menempatkan anak pada posisi paling rendah dan kepentingannya selalu dikaitkan dengan kepentingan orangtua.
Mereka tidak pernah didengarkan suaranya, malah dalam banyak hal, suara orangtua (di rumah, dan orang dewasa lain, di luar rumah) dianggap mewakili suara anak-anak.
Sebab menerapkan CRC berarti mengakui anak sebagai subyek atas hak-haknya sebagai manusia, bukan hanya sekadar menerima perlindungan manusia dewasa.
Hal yang sama untuk dijumpai di lingkungan pesantren sebagai gambaran nyata dari tradisi Islam yang bersifat herarkis paternalistik. Tradisi yang hubungan sosialnya terpusat pada kyai yang berfungsi sebagai bapak terhadap anak-anaknya, yaitu para santri.
Pola hubungan 'bapak- anak" yang mengalami perluasan sampai segala urusan yang diistilahkan Max Weber sebagai kewenangan politik tradisional (patrimonialisme).
Hingga tidak ada seorang santri pun yang berani melawan otoritas dan kekuasaan pesantren10, keharusan untuk patuh secara mutlak kepada kyai bukan saja karena otoritasnya tapi dalam diri santri dibangun keyakinan bahwa kyai sebagai penyalur kemurahan Tuhan yang dilimpahkan kepadanya, baik di dunia maupun diakhirat.
Pesantren Tebuireng yang didirikan oleh Hadratus Syaikh K.H. Hasyim Asy'ari pada tahun 1899 M merupakan salah satu pesantren yang memiliki arti penting dalam perjalanan sejarah karena dari tempat ini muncul berbagai macam organisasi dan tokoh-tokoh yang berkiprah dalam pentas politik nasional seperti lahirnya NU (Nahdlatul Ulama) dan munculnya ulama modern seperti Wahid Hasyim, yang menjabat Menteri Agama.
Keberadaan Pesantren Tebuireng pada periode kepengasuhan Dr (Hc). KH. Solahuddin Wahid yang sekaligus anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tentunya memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan pesantren yang berlangsung di Tebuireng, terlebih dengan tetap digunakannya rujukan kitab klasik seperti Kitab Adabul Alim Wa Muta'lim dalam rangka penanaman tata cara menuntut ilmu seorang santri. Terlebih karena kitab tersebut adalah kitab karangan Hadratus Syeikh K.H. Hasyim Asy'ari yang selanjutnya diterjemahkan secara adaptif oleh Dr. Rosidin, M.PdI.
Tentunya antara konsep dengan implementasi terkadang jauh dari pengharapan kitab Adabul 'Alim Wa Muta'allim. Terlebih jika hal ini dibaca dalam perpektif CRC dan bagaimana implementasi kitab tersebut di Pesantren Tebuireng.
Namun dari semuanya, hal yang terpenting dari implementasi CRC adalah bahwa hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.
Meski dalam kentalnya budaya paternalistik sebagai struktur yang kaku, yang menempatkan anak pada posisi paling rendah dan kepentingannya selalu dipandang kurang utama dibandingkan dengan kepentingan orang dewasa. Hal yang sama untuk dijumpai dilingkungan pesantren sebagai gambaran nyata dari tradisi Islam yang bersifat herarkispaternalistik.