Lihat ke Halaman Asli

I Gde Yudhi Argangga K.

Dosen Universitas Mahendradatta Bali, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Toponimi Desa Kedonganan Dalam Perspektif Linguistik

Diperbarui: 3 November 2024   00:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Penulis Buku "Toponimi Kedonganan Dalam Perspektif Linguistik" menyerahkan buku sebagai arsip desa kepada Bendesa Desa Adat Kedonganan (2024)

Secara konseptual, toponimi merupakan salah satu bidang dalam ilmu linguistik-onomastik yang mempelajari mengenai penamaan unsur-unsur geografis pada nama-nama tempat. Toponimi dianggap memiliki peranan penting karena menyediakan data berharga yang terdiri dari berbagai aspek sejarah budaya masyarakat yang kemudian dapat direkonstruksi. Selain itu, tersedianya urutan peristiwa yang relatif kronologis setidaknya dapat memberikan informasi penting sebagai petunjuk dalam menyelidiki nama tempat suatu daerah. Dengan demikian, diperlukannya data historis komplementer seperti tradisi lisan, etnografi, dan informasi arkeologis untuk menguatkan dalam menunjukkan fakta-fakta historis otentik.

Kedonganan (salah satu desa pesisir yang ada di Kabupaten Badung-Bali) menjadi objek yang menarik untuk dikaji dengan tujuan untuk menggali nilai-nilai yang ada dalam toponimi sehingga dapat mengetahui latar belakang penamaan tempat yang bersangkutan. Nilai yang ditemukan ini dapat digunakan untuk memperkuat penamaan nilai-nilai lokal dalam pembelajaran geografi sehingga memberikan pengetahuan dan wawasan tentang kondisi lokal serta penguatan karakter. Dalam tulisan ini, akan dijelaskan seperti apa gambaran toponimi yang berkaitan dalam pengimplementasian daerah Kedonganan sebagai salah satu desa pesisir yang menarik untuk diteliti.

Toponimi sebagai bentuk nama, dipahami sebagai bentuk linguistic evidence yang ditelisik pada tingkatan makna. Lebih jauh lagi, aspek sejarah dan budaya memegang peranan penting tentang makna toponimi sebuah wilayah atau lokasi. Makna toponimi apabila dibawa dalam konteks sosial terkait erat dengan isu eksistensi, representasi, dan identitas sebuah etnis budaya. Secara khusus dalam riset ini adalah Desa Kedonganan. Pada ulasan ini, penulis mencoba menjelaskan tentang latar belakang dan situasi kebahasaan untuk membentuk suatu argumentasi dalam menemukan relevansi antara toponimi dengan bahasa sebagai penandanya.

Pada tingkatan leksikal, toponimi ‘Kedonganan’ tentunya tidak ditemukan sumber yang memaparkan makna leksikal. Akan tetapi pada tingkatan etimologis, ‘Kedonganan’ memiliki beberapa makna yang tidak bisa dilepaskan dari aspek sejarah dan budaya utamanya terkait perilaku manusia. Jika ditinjau berdasarkan bahasa Sansekerta yang ditemukan, leksikon yang paling mendekati dengan istilah “Kedonganan” adalah leksikon “Donga”. Pertanyaannya, apakah Kedonganan bersumber dari bahasa Sansekerta yang dianggap tua penggunaannya? Pembahasan berikut setidaknya membantu dalam membedah rumusan tersebut. Dalam kamus bahasa Sansekerta-Indonesia yang dirumuskan oleh Purwadi (2008), leksikon “Donga” memiliki arti doa; “Ndedonga” berarti berdoa. Istilah “Donga” dalam bahasa Sansekerta dapat melalui proses Interferensi Morfologis yang terjadi saat pembentukan kata sebuah bahasa kemudian menyerap imbuhan dari bahasa lain. Kondisi ini terjadi akibat kontak bahasa dalam diri penutur.

Bhatia (2013: 328) mendefinisikan interferensi sebagai proses transfer bahasa, yaitu suatu proses di mana seseorang membawa elemen struktural dari bahasa lama (bahasa sumber) ke dalam bahasa yang baru (bahasa kedua/resipien). Disebutkan pula pada dasarnya di antara kedua bahasa tersebut terdapat sebuah proses keterjalinan, yaitu adanya hubungan erat antara leksikon dan tata bahasa yang dianalogikan sebagai tangan dan sarung tangan. Karenanya, dalam situasi tertentu khususnya saat pelafal mengalami kesulitan / kendala dalam melafalkan bahasa baru, proses kognitif akan bekerja untuk memunculkan bahasa lama ke permukaan. Melalui proses transfer bahasa tersebut, sehingga istilah “Ke-donga-nan” begitu relevan karena bersumber dari kata “Donga”. Hal ini terjadi karena mengalami sebuah prefiks atau imbuhan awalan yakni “ke-” yang menunjukkan tingkatan, keterangan status, kemauan, dan tujuan sedangkan sufiks atau imbuhan akhiran yakni “-nan / -an” umumnya berfungsi untuk membentuk nomina, abstrak, verba, intransitif, dan kata sifat / keadaan.

Penulis Buku "Toponimi Kedonganan Dalam Perspektif Linguistik" berbincang dengan Bendesa Desa Adat Kedonganan (2024) 

Leksikon “Donga” dalam bahasa Sansekerta dianggap tua penggunaannya dikarenakan bahasa Sansekerta termasuk peninggalan kuno. Menurut Purwadi (2008), bahasa Sansekerta mempunyai nilai logika, etika, dan estetika yang sangat tinggi dalam lingkungan kebudayaan nusantara. Sejak dulu bahasa Sansekerta digunakan dalam penyebaran dan pengembangan ilmu pengetahuan. Banyak kitab-kitab tua yang ditulis dengan menggunakan unsur serapan bahasa Sansekerta. Pada perkembangannya, bahasa ini lebih populer dengan penyebutan “Bahasa Kawi”. Sesuai dengan makna harafiahnya, “Kawi” berarti pujangga. “Bahasa Kawi” berarti bahasa yang digunakan oleh para pujangga. Pada Jaman dahulu, bahasa Sansekerta atau bahasa Kawi memang digunakan oleh para cendekiawan, ilmuwan, dan bangsawan. Hal ini kemudian menjadikan bahasa tersebut memiliki kedudukan tinggi dalam masyarakat penuturnya. Dalam kesimpulannya, bahasa Sansekerta adalah rumpun bahasa Indo-Eropa yang dianggap salah satu yang paling tua dan banyak dikenal oleh para peneliti bahasa. Makna dari bahasa Sansekerta yaitu bahasa yang sempurna, antonim dari bahasa rakyat atau Prakerta dan banyak digunakan untuk keperluan agama atau ilmiah. Sampai saat ini, bahasa Sansekerta menjadi salah satu bahasa resmi yang digunakan di negara India karena berhubungan erat dengan Agama Hindu dan Budha.

Mengacu pada aspek-aspek yang dikemukakan oleh Bolinger tentang sifat bahasa (some traits of language), leksikon “Donga” dalam bahasa Sansekerta dapat berkaitan dengan sebuah budaya saat itu yang berorientasi pada tingkah laku dan berkaitan dengan sikap, yaitu mencerminkan sebuah prilaku bakti manusia kepada Sang Pencipta; Ida Sang Hyang Widhi Wasa melalui sebuah ritual yang diyakininya. Ritual tersebut merupakan representasi masyarakat yang memeluk keyakinan agama Hindu sebagai bentuk syukur dan terima kasih kepada Sang Pencipta. Hal itu dilakukan agar memperoleh kedamaian, keteguhan, serta kesucian hati. Untuk mendukung prilaku yang luhur tersebut, maka diperlukan sarana selanjutnya seperti mendirikan bangunan / tempat yang disucikan agar persembahan yang ada saat itu dapat ditempatkan dengan layak dan semestinya. Oleh karena itu, didirikan sebuah “Gedhong” sebagai suatu tempat / bangunan yang dikeramatkan oleh umat Hindu (masyarakat setempat) yang digunakan sebagai tempat persembahyangan bagi umat Hindu untuk memuja Hyang atau Brahman beserta aspek-aspeknya. Dalam bahasa Sansekerta, terdapat leksikon “Gedhong” yang memiliki arti ‘gedung’. Sedangkan “Hyang” memiliki arti ‘dewa’, ‘batara’, ‘junjungan; hyang arka, hyang aruna, hyang brahma, hyang hari, dll’. 

Kata “Donga” dengan kata “Gedhong Hyang” secara idiomatis mengandung arti yang hampir sama serta memiliki konstruktivisme ideologi yang selaras. Kata “Gedhong” selain berarti bangunan, rumah, ruangan; dalam konteksi ini, “Gedhong” juga dapat diartikan sebagai tempat, wilayah, kompleks. Sedangkan “Hyang” memiliki arti Tuhan; Hyang Widhi. Dalam kesimpulannya, “Gedhong Hyang” merupakan rumah atau tempat yang digunakan untuk memuja Tuhan. Hal ini berkolerasi dengan prilaku manusia dalam memuja Tuhan yang umumnya disebut ritual; berdoa; doa. Makna ini sesuai dari leksikon “Donga” dan “Gedhong”, dan “Hyang” dalam bahasa Sansekerta. Sehingga secara etimologis, kedua istilah itu memiliki kesamaan. Jika diartikan secara harfiah, nama “Kedonganan” / “Ke-donga-nan” bermakna suatu daerah yang menjadi tujuan dalam melakukan pemujaan / ritual kepada Sang Pencipta; Sang Hyang Widhi Wasa sebagai Acintya (Sang Hyang Tunggal) yang merupakan sebutan bagi Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Hindu Dharma masyarakat Bali. Konsep Hinduisme yang terimplementasi hingga sekarang, menempatkan Sang Hyang Widhi Wasa pada konsep Brahman. Dalam bahasa Sansekerta, “Acintya” memiliki arti ‘Dia yang tak terpikirkan’, ‘Dia yang tak dapat dipahami’, atau ‘Dia yang tak dapat dibayangkan’.

Pertanyaan selanjutnya, “di manakah Gedhong Hyang atau bangunan suci yang dianggap tua keberadaanya di Desa Kedonganan?”. Berdasarkan informasi dari tokoh Desa Adat Kedonganan, bangunan suci yang menjadi representasi konsep Kahyangan Tiga dapat ditemukan di desa tersebut, yang meliputi Pura Desa / Pura Bale Agung, Pura Puseh, dan Pura Dalem. Konsep Kahyangan Tiga ini sangat melekat pada salah satu tokoh sentral dalam membangun peradaban Bali, salah satunya adalah mampu merubah tatanan hidup orang Bali ke arah yang lebih baik dan memiliki tatanan hidup yang jelas. Tokoh tersebut bernama Mpu Kuturan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline