Lihat ke Halaman Asli

Ketika Entrok Bicara

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ketika Entrok Bicara

Oleh Khrisna Pabichara

"Sejarah sudah memberi kita banyak tragedi."

Radhar Panca Dahana

Bermula dari Entrok

PERNAHKAH Anda sekejap saja membayangkan bagaimana “nikmatnya” ditindas, diperas, dan “digagahi” oleh rezim diktator? Sudikah Anda menjadi bulan-bulanan gosip, ditikam dari belakang, atau dituduh melakukan sesuatu yang tidak Anda lakukan? Tahukah Anda betapa mengerikan hidup di tengah masyarakat yang hukumnya ditentukan oleh siapa yang berkuasa?

Entrok, novel anggitan Okky Mandasari, akan menemani Anda dalam perjalanan psikologis yang mengaduk-aduk perasaan—lebih tepatnya memilin-milin ulu hati—dan membabar buramnya perjalanan negara dalam “memesrai” warganya. Pembantaian yang terlupakan, penculikan yang terabaikan, bahkan perkosaan massal atas nama “perubahan” menjadi mozaik yang membuat Entrok lebih bernas. Belum lagi pergulatan batin lewat “perang saudara” antara Sumarni dan putrinya yang ialah pemindahan kenyataan menyehari ke dalam keindahan prosa—lebih tepatnya pertarungan antara yang bodoh melawan yang pintar, antarayang tertinggal dengan yang modern—melalui alur waktu yang jumpalitan tanpa harus kehilangan daya pikat estetisnya.

Begitulah. Alih-alih berkeras mendaras sejarah, pengarang muda kelahiran Magetan ini malah menyajikan dampak peristiwa sejarah bagi warga negara yang tak bisa apa-apa, tak pernah berniat macam-macam, tapi terus-menerus menjadi korban atau akibat dari sebab yang tidak dia lakukan.

Potret Sejarah atau Potret Muram?

Damhuri Muhammad menyatakan, sejarah adalah “dunia sesungguhnya” sementara sastra adalah “dunia seandainya”.[1] Pada konteks ini, tegas Damhuri, sejarah dipancangkan atas dasar kepastian epistimologis (benar-salah, terjadi atau tak terjadi) sedangkan teks sastra digubah atas dasar pencapaian estetika sastrawi.

Di sinilah Entrok bisa didudukkan dengan benderang bahwa, ia tetaplah karya sastra dengan berbagai capaian estetika dan bukan kepastian sejarah yangbenar-benar pernah terjadi. Entrok adalah dunia seandainya, bukan dunia nyata—meskipun ada kemungkinan dibangun dari “kenyataan”. Di sini pula saya bersepakat dengan Radhar Panca Dahana bahwa, sejarah sudah memberi kita banyak tragedi.[2] Karena itu, kita harus banyak belajar darinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline