Lihat ke Halaman Asli

Cerpen: Arajang

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[Kepada M. Aan Mansyur & Puang Matowa Saidi’]

|1|
Sudahkah kau memeluk dirimu hari ini?[1]

TIDAK MUDAH menjadi lelaki. Begitu pun menjadi perempuan. Tapi lebih tidak mudah lagi menjadi calabai—lelaki yang menyerupai perempuan. Di kampung kelahiranku, Malakaji—sebuah kampung di kaki Gunung Lompobattang, lelaki hanya butuh mahir berkuda, beladiri, bertani, atau berdagang. Menjadi perempuan lebih gampang lagi. Yang penting bisa masak, mencuci, mengasuh suami dan anak. Tapi tidak begitu jika kamu calabai. Kamu akan digiring takdir ke negeri antara, merasakan pedihnya dicaci dan dilecehkan, dan berulang seolah sarapan pagi yang harus kamu santap setiap hari.

Begitulah nasib yang harus kuterima sebagai suratan. Lima tahun silam, dari tahun kugubah kisah ini, dengan kasar Ayah mengusirku dari rumah. Sungguh, sabda Ayah selalu tak terbantahkan. Ayah memang diktator ulung, suka mengambil keputusan semaunya. Ibu hanya terisak di tepi dipan kayu yang tak bertilam tak berseprai. Aku bergeming. Tidak dibenarkan membantah, meski sebatas membela diri. Aku tahu Ibu akan menahanku, tapi aku harus tetap pergi. Kalau tak salah, usiaku kala itu lima belas tahun. Masih terlalu muda untuk mengadu untung di rantau.

“Jangan kembali ke rumah ini sebelum kamu jadi lelaki,” begitu kata Ayah dengan muka merah dan mata nyaris meloncat dari pelupuknya.

Aku berjalan menuruni tangga. Tak menoleh barang sekilas. Padahal aku sangat ingin bersimpuh di kaki Ibu atau setidaknya berucap selamat tinggal. Atau, “Jaga diri baik-baik, Ammak[2].” Kamu tahu? Aku sangat ingin memeluk Ibu, seperti setiap pagi beliau rajin membangunkan aku dengan pertanyaan sama yang diulang setiap hari.

“Sudahkah kau memeluk dirimu hari ini?”

Tapi aku harus tetap pergi. Meski aku tak pernah berniat menjadi lelaki.

|2|
lenganmu memang terlalu pendek buat tubuhmu
tetapi tentu saja cukup panjang buat tubuhku[3]

BAIKLAH. Sebelum kutuntaskan kisah ini, akan kuceritakan padamu riwayat kelahiranku yang dulu kudengar bak renjana setiap hari. Konon, aku adalah bayi paling dinantikan oleh Ayah. Ya, kamu perlu tahu. Kebanggaan bagi setiap Ayah ketika berhasil memiliki anak lelaki. Dan tiga kakakku semuanya perempuan. Pantas kiranya jika kelahiranku disambut penuh sukacita. Satu ekor kuda, dua ekor kambing, dan berpuluh-puluh ayam dikorbankan. Hari itu Ayah menghamburkan tunai tiga juta demi sebuah pesta akikah.

Lalu, aku tumbuh menjadi bayi ajaib. Belum sembilan bulan aku sudah fasih bicara. Memasuki bulan kesepuluh aku mampu berdiri tanpa harus disangga lembut lengan Ibu. Inilah awal-mula mitos kemasyhuranku. Ayah selalu bangga, dengan mata berbinar acapkali bertutur tentang kelebihanku dibanding balita lain. Betapa tidak, di tahun keempat setelah kelahiranku, 1994, aku meramal bahwa Brasil akan keluar sebagai Juara Dunia FIFA World Cup 1994. Ayahku percaya. Alhasil, dia sukses memenangkan banyak taruhan. Dan, hadiah bagiku sebuah kecupan lembut di kening. Waktu itu, aku masih ingat, Ayah berkata dengan mata sarat cahaya, “Kamu memang lelaki paling hebat, Nak. Hidupmu bakal disesaki teka-teki, tapi kamu tak akan sendiri. Ayah akan selalu menemanimu.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline