Lihat ke Halaman Asli

Semangat Kartini dalam Perjuangan Kesetaraan Gender Politik

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perjuangan Kartini dalam membela hak-hak kaum perempuan dan perjuangannya yang fenomenal patut dikenang dan dijadikan spirit sampai kapanpun. Karena sosok Kartini adalah pejuang kesetaraan gender pertama yang pernah ada di Indonesia. Walau Kartini bukanlah sosok hero seperti Tjut Nyak Dien yang memanggul senjata dan memimpin perang melawan penjajah Belanda di Tanah Rencong.Ia adalah seorang tokoh pertama pendobrak patron dan paham patriakhi dalam budaya masyarakat Jawa yang kental. Pemikirannya yang aneh dan menyalahi adat pada jamannya saat itu, justru menjadi tonggak sejarah bangkitnya perjuangan wanita dalam mengalahkan tirani dan penindasan terhadap perempuan. Ia juga boleh dibilang adalah sosok yang lebih maju setengah abad dari jamannya. Meski akhirnya kepahlawannya justru dipertanyakan pada akhir-akhir ini. Ia bukanlah pahlawan perempuan yang sebenarnya yang memperjuangkan azasi wanita. “Kelemahan”nya dimulai ketika Kartini memutuskan untuk menerima aturan dan tradisi yang dibebankan kepadanya, bersedia menuruti adat bangsawan Jawa sampai mau menikah dengan bupati Rembang yang dijodohkan kepadanya. Keputusannya itu membuat ia harus melepaskan mimpinya untuk menimba ilmu di negeri Belanda dan menjadi perempuan intelektual. Keputusan inilah yang dianggap sebagian kalangan kontradiktif dengan apa yang terus  diperjuangkannya selama ini. Kartini dianggap tidak konsisten terhadap idealisme yang didengungkannya sendiri. Bahkan ia juga dianggap telah menggadaikan idiologinya demi kelanggengan kehidupan ningrat yang dimilikinya. Terlepas dari “kelemahan” yang ditunjukkan oleh Kartini saat dia menerima aturan dan tradisi yang dibebankan kepundaknya tersebut. Namun usaha-usaha yang dilakukan Kartini dalam membela hak-hak kaum perempuan dan usahanya menjebol keangkuhan tembok feodalisme kaum ningrat Jawa bernama patriakhi patut terus diteladani dan dijadikan inspirasi serta penyemangat untuk terus memperjuangkan adanya kesetaraan gender  di kehidupan bermasyarakat negeri ini di semua sektor termasuk di dalamanya di dunia perpolitikan. Saat ini peran politik kaum perempuan masih sangat kurang. Hambatan utama disebabkan oleh cara pandang dan memperlakukan perempuan yang salah. Budaya patriarkhi di kalangan masyarakat masih sangat mengakar dan mendominasi dalam kehidupan. Bahkan dalam lingkungan sosial terkecil seperti keluarga, nuansa dominasi laki-laki masih sangat kuat. Terlebih di pedesaan. Label dan cap yang diberikan pada sosok perempuan sangat kental sebagai orang lemah, tidak bermanfaat dan terbelenggu ketergantungan telah di doktrin secara turun temurun. Perempuan dipersepsikan sebagai orang kelas dua yang seharusnya di berada rumah dan bahkan sekarang ini perempuan semakin dibuat terlena oleh konsumerisme dan hidonisme dalam cengkeraman kapitalisme yang dikampanyekan oleh siaran-siaran TV setiap saat dari pagi ke siang sampai petang dan dari petang sampai pagi lagi.  Sehingga perempuan lemah tidak sepatutnya bergelut dengan dunia politik yang penuh dengan kekerasan dan kekasaran permainan kekuasaan. Perempuan dinilai tidak mampu memimpin dan membuat kebijakan karena patron membentuk perempuan sangat tendensius mengutamakan perasaan sehingga jauh dari sikap rasionalitas. Persepsi negatif ini dilekatkan pada perempuan sendiri telah terstruktur sedemikian rupa dibenak kaum laki-laki dan juga kaum perempuan sendiri.

Keterwakilan Perempuan di DPR/DPRD.

Kuota 30% yang diberikan untuk keterlibatan perempuan dalam politik dan keterwakilan perempuan dalam parlemen yang diamanatkan oleh Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol) masih sangat jauh di kenyataan sesungguhnya. Walau sejatinya angka 30% ditinjau dengan hitungan statistik berdasarkan jumlah masih dinilai tidak adil. Namun sebagian kalangan perempuan yang lain menyambut hal ini sebagai langkah maju untuk memberi gerak bagi perekrutan kaum perempuan dalam langgam politiknya. Karena selama ini perempuan hanya berjumlah 12 % saja yang berkiprah dalam ruang sidang di Senayan (hasil pemilu 2004).

Dengan adanya dorongan untuk keterwakilan perempuan yang 30% di parlemen saat pemilu 2009 tersebut seperti diamanatkan UU No. 10 tahun 2008, walaupun belum adanya affirmative action yang memberikan previlage tertentu sehingga memberikan syarat yang lebih mudah bagi caleg perempuan dari pada caleg laki-laki, namun hasil dari pemilu tersebut (pemilu 2009) sudah menunjukkan keterwakilan yang meningkat dari pemilu sebelumnya, yaitu untuk DPR RI 18% dari sebelumnya yang hanya 12% dan untuk keterwakilan di DPD agak lebih tinggi dari pada keterwakilan di DPR, yaitu 27,3% dari sebelumnya 18,8%. Bagaimana dengan keterwakilan perempuan di DPRD Jawa Timur? Dari pemilu 1999 yang mengantarkan 11 orang wakil perempuan, kemudian meningkat di pemilu 2004 menjadi 16 orang dan 19 orang dari pemilu 2009. Jadi keterwakilan perempuan di DPRD Jawa Timur adalah 19% atau 1% di atas keterwakilan di tingkat nasional. Data di atas menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan di lembaga politik DPR maupun DPRD propinsi masih jauh dari harapan undang-undang yang 30% apalagi berdasarkan proporsi jumlah perempuan secara statistik yang ebih besar dari jumlah laki-laki (50.01 % dibanding 49,99%).   Keterwakilan Perempuan di Eksekutif.

Berdasarkan data  badan kepegawaian negara tahun 2008 (sumber BKN 2008) menunjukkan bahwa jumlah pegawai negeri sipil perempuan adalah 1.990.706 orang (45%) sementara laki-laki 2.389.316 (55%). Dan prosentase jumlah pegawai negeri sipil dirinci menurut golongan ruang dan jenis kelamin adalah (sumber BKN2008) golongan I 91,3% laki-laki dan 8,7% perempuan, golongan II 57% laki-laki dan 43% perempuan, golongan III 54,5% laki-laki dan 45,5% perempuan serta golongan IV 52,1% laki-laki  dan 47,9% perempuan.

 

Adapun berdasarkan  jumlah pegawai negeri sipil yang menduduki jabatan eselon adalah (sumber BKN 2008) eselon I 91,3% laki-laki dan 8,7% perempuan, eselon II  92,9 % laki-laki dan 7,1% perempuan, eselon III 85,5% laki-laki dan 14,5% perempuan, eselon IV 76,5% laki-laki dan 23,5% perempuan serta eselon V  76,8% laki-laki dan 23,2% perempuan.

 

Berdasarkan data tersebut di  atas  menunjukkan bahwa tidak begitu terjadi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dari sisi jumlah pegawai negeri sipil, namun kesenjangan mulai terjadi  di golongan ruang III dan IV. Sehingga hal ini menunjukkan rendahnya perempuan dalam proses pengambil keputusan di lembaga eksekutif. Dan bahkan di jabatan-jabatan struktural eselon I sampai V keterwakilan perempuan sangat memprihatinkan 7,1 % sampai 23,5%. Tentu pencapaian angka ini masih sangat kecil apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan yang sekarang justru lebih banyak perempuan daripada laki-laki yaitu 50,01% perempuan dan 49,99 % penduduk laki-laki.

 

Hal ini disebabkan oleh banyak faktor selain faktor dominan yaitu sosial budaya patriakhi yang mengakar kuat di masyarakat Indonesia, dimana perempuan adalah kelas dua. Faktor lain yang disebabkan oleh peran domestik perempuan, yang mengganggu kiprah dan karirnya.

 

Bagaimana dengan tingkat keterwakilan perempuan di jabatan politis selevel bupati atau wali kota di Jawa Timur? Saat ini dari 38 daerah kabupaten / kota di Jawa Timur hanya ada 2 daerah yang dipimpin oleh perempuan, yakni Banyuwangi dan Tuban. Namun saat ini di pemilu Pilkada daerah tingkat II di Jawa Timur yang akan diadakan tahun ini hampir semua daerah memunculkan fenomena ramainya kandidat kepala daerah perempuan, setidaknya 18 kabupaten / kota akan menyelengggarakan pilkada.

Beberapa daerah di antaranya memunculkan calon kepala daerah perempuan, seperti Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Malang, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Kediri, Kabupaten Pacitan dan Kabupaten Lamongan. Fenomena maraknya kandidat perempuan dalam pilkada sangat menarik untuk diamati. Apalagi fenomena ini muncul di daerah Jawa Timur di mana budaya patriarkhinya sangat dominan. Fenoman ini mengindikasikan ada gejala baru dalam masyarakat yang sudah tidak lagi mempersoalkan gender secara dikotomis. Masyarakat sekarang boleh dikatakan sudah mulai berubah dan sebagian sudah bisa  menerima siapa saja yang akan menjadi pemimpin mereka, tidak peduli ia perempuan atau laki-laki. Dari uraian di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa  perjuangan kesetaraan gender politik harus terus diperjuangkan dengan langkah-langkah seperti uraian di bawah ini. Pertama, bahwa perjuangan dan usaha-usaha Kartini yang menuntut adanya emansipasi wanita dan mendobrak keangkuhan tembok feodalisme kaum ningrat Jawa yang bernama patriaki harus selalu diteladani dan dijadikan inspirasi serta penyemangat untuk terus menerus memperjuangkan kesetaraan gender di kehidupan bermasyarakat negeri ini di semua sektor termasuk di dalamanya di dunia perpolitikan. Kenyataannya perubahan yang diperjuangkan oleh Kartini saat itu kalau dibandingkan dengan kondisi sekarang sudah jauh lebih maju. Sehingga dengan adanya usaha yang terus-menerus akan membawa hasil yang menggembirakan. Kedua, harus diusahakan adanya peraturan atau undang-undang  tentang pemilu, pilkada , dan partai politik serta peraturan perihal rekruitmen jabatan struktural eksekutif eseleon I sampai V yang mencantumkan perihal affirmative action terhadap keterwakilan perempuan. yakni memberikan previlage tertentu kepada keterwakilan perempuan, sehingga memberikan syarat yang lebih mudah bagi calon perempuan dari pada calon laki-laki. Sehingga dengan adanya affirmative action keterwakilan perempuan akan meningkat dan sesuai harapan. Ketiga, diperlukan adanya usaha-usaha peningkatan pendidikan (secara umum) bagi perempuan secara terus menerus. Karena dengan adanya peningkatan taraf pendidikan bagi kaum perempuan maka akan meningkatkan kompetensi dan daya saing kaum perempuan di bidang politik. Keempat, diperlukan adanya pencerahan dan pendidikan politik yang terus menerus kepada masyarakat luas, bisa dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat, ormas, ataupun oleh lembaga – lembaga lain,  tentang unggulnya pemimpin politik perempuan. Dengan usaha itu diharapkan akan memberikan perubahan pandangan tentang budaya patriakhi bagi masyarakat, sehingga kemungkinan terpilihnya peminpin politik perempuan akan sama dengan kemungkinan terpilihnya peminpin politik laki-laki. Sehingga kesetaraan gender dalam dunia perpolitikan akan semakin maju dan efek sampingnya untuk kemajuan usaha pemberantasan korupsi bisa segera dirasakan. Karena dengan meningkatnya keterwakilan perempuan di DPR / DPRD, dan jabatan politis selevel bupati & gubernur serta di jabatan struktural eksekutif  (eselon I sampai V), maka diharapkan akan menekan tingginya angka korupsi di negeri ini, seperti beberapa kasus di negara Skandinavia, seperti Swedia, di mana sebesar 43,8 persen perempuan jadi anggota DPR, dan ternyata dengan tingginya keterwakilan perempuan tersebut diikuti efek yang mencengangkan bagi upaya pemberantasan kasus korupsi. Kasus korupsi turun hingga nol persen dan angka kekerasan perempuan pun turun signifikan. Begitu juga yang terjadi di Rwanda. Semenjak kuota untuk perempuan diatur dalam lembaga politik, hukum mengenai pemerkosaan dan pelecehan seksual menjadi terangkat setelah lembaga legislatif dikuasai perempuan. Berangkat dari fakta-fakta tersebut di atas perihal keterwakilan perempuan di DPR / DPRD, dan jabatan politis selevel gubernur & bupati serta jabatan struktural eksekutif (eselon I sampai V) kiranya hal ini sudah menjadi keharusan untuk keadilan bagi perempuan dan rakyat secara keseluruhan serta untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Dan bukan lagi suatu wacana yang perlu untuk diperdebatkan.lagi (AM, 7 April 2010).




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline