Sebenarnya, sesuai Khittah 1926, Nahdlatul Ulama (NU) tidak memihak dan ikut campur masalah politik atau partai politik tertentu. Namun sejak Pemilu 2004 hingga 2009, elite NU dan kiai NU sangat kental dan vulgar sekali dalam mengarahkan pilihan umat. pengarahan dan keterpihakan ke partai tertentu dan calon tertentu itu terjadi dalam pemilihan Legislatif, kepala daerah, hingga Presiden. Sebagian besar kalah bahkan kalah telak. Misalnya, kekalahan Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi, ketika berpasangan dengan Megawati dalam Pilpres 2004, kekalahan Ketua Muslimat NU, Khofifah Indarparawansa saat Pilgub Jatim, kekalahan Jusuf Kalla-Wiranto saat Pilpres 2009. Masih banyak lagi kekalahan calon kepala daerah yang disokong para elite NU. Partai-partai berbasis nahdliyin pun kalah dalam Pemilu 2009, seperti PKB, PPP dan PKNU. Peran politik NU di masa lampau tercatat sangat menunjukkan eksistensinya, misalnya saat pemilu pertama kali diselenggarakan tahun 1955. Kiprah NU dari golongan Islam tradisional ini tidak bisa dilupakan begitu saja dalam mewarnai tegaknya demokrasi di negeri ini. Pada Pemilu 1955, NU menempati posisi ketiga (18,4 persen) di bawah PNI (22,3 persen) dan Masyumi (20,9 persen). Padahal saat itu, NU baru saja keluar dari Masyumi dan tidak punya banyak waktu untuk mensosialisasikan partainya seperti partai lainnya. Pada pemilu selanjutnya semasa Orde Baru, NU juga masih membuktikan eksistensinya dalam PPP. Tapi ‘prestasi politik’ NU namun kurang begitu menggembirakan akhir-akhir ini. Maka kiranya diperlukan reposisi dan revitalisasi peran dan posisi politik NU ke depan. Serangkaian kekalahan itu menunjukkan, warga nahdliyin semakin “mandiri” dan tidak mau mengikuti wejangan para elite NU di bidang politik. Mengapa ini bisa terjadi? Bagaimana sebaiknya langkah NU secara organisasi ke depan? Secara garis besar yang mempengaruhi pilihan politik warga NU berbeda dengan arahan para elite NU adalah: - Meningkatnya tingkat pendidikan warga NU secara umum. Naiknya tingkat pendidikan masyarakat akan naik pula pengertian mereka tentang demokrasi maupun pengetahuan bidang politik lainnya. - Berkembangnya teknologi informasi yang bisa diakses oleh semua warga. Warga NU pun tidak perlu lagi preferensi politik dari para elitnya. - Belum tentu kebutuhan warga NU bisa dipenuhi bila mereka mengikuti preferensi politik para elite NU. Warga NU sudah semakin pintar memilih pihak-pihak yang akan memberikan keuntungan kepada mereka, daripada hanya mengikuti preferensi politik tanpa keuntungan apa-apa. Kondisi sudah semakin berubah dibandingkan tahun 1955–1971-an ketika NU jadi partai politik atau saat Orde Baru (1977-1984) ketika NU menjadi bagian dari PPP. Maka, apakah peran dan posisi politik NU perlu dipertahankan atau diperbarui? Memang secara de jure peran politik NU sudah kembali sesuai Khittah 1926 sejak Muktamar 1984. Akan tetapi, tarik-menarik NU ke arah politik sangat jelas walau itu hanya dilakukan para elite NU. Nuansa pengarahan dan political patron juga sangat jelas membawa-bawa organisasi NU baik itu NU secara induk organisasi maupun secara organisasi beberapa badan otonom NU. Menurut saya, sebaiknya ketidakberpihakan NU secara organisasi harus benar-benar diterapkan secara bertanggung jawab mengingat NU saat ini sudah merupakan organisasi yang multi stake holder. Artinya, NU tidak hanya dimiliki para elite NU sendiri maupun partai tertentu namun warga NU sudah menyebar ke semua bidang kemasyarakatan dan kehidupan. Bahkan, mereka yang tidak tercatat sebagai jam’iyah NU pun merasa menjadi warga NU karena secara kultural mereka melakukan kegiatan keagamaannya mengacu pada ajaran-ajaran ke-NU-an seperti tahlil, salawatan, dll. Jadi, untuk membikin kemajuan NU secara organisasi dan bisa dinikmati semua warga NU baik yang jam’iyah maupun yang tergolong NU kultural serta semua warga bangsa, sebaiknya NU hanya mengurusi masalah-masalah keumatan, sosial, pendidikan serta masalah-masalah keagamaan. Tidak usah lagi terlibat langsung dengan masalah-masalah politik. Para elite NU selayaknya tidak terjebak lagi dalam dukung-mendukung calon tertentu. Karena di samping warga NU yang sudah menyebar ke hampir semua partai besar yang ada, juga banyak warga NU yang non partisan. Namun kalau dukung–mendukung tersebut atas nama pribadi, dipersilakan. Lantas, bagaimana peran NU secara organisasi kalau ada warga NU yang ikut mencalonkan posisi tertentu dalam pilkada, pemilu dan bahkan pilpres? Mestinya itu bisa disikapi secara tegas bahwa secara organisasi NU tidak dukung-mendukung. Jika ada elite NU yang akan memberikan dukungan sebaiknya diberikan secara personal dan juga harus melepas dahulu baju elite NU-nya serta menjaga benar netralitas NU secara organisasi. Hal ini harus benar-benar diterapkan dan diawasi oleh organisasi agar tidak dilanggar. Kalau hal ini bisa diterapkan secara bertanggung jawab dan konsisten, alangkah indahnya NU dan tentunya warga NU atau yang merasa warga NU akan bangga dengan kondisi demikian. Tidak seperti saat ini, antar elite NU sendiri mempunyai dukungan atau preferensi politik sendiri-sendiri dan akhirnya calon yang mereka dukung dengan mengatasnamakan NU kalah, sehingga membuat warga NU merasa tidak nyaman. Selamat Bermuktamar Semoga dalam Muktamar NU ke-32 pada bulan Maret 2010 ini di Makassar akan berhasil diambil keputusan penting perihal posisi dan peran politik NU ke depan. Itu supaya kiprah NU dan warga nahdliyin di dunia politik ke depan lebih tertata sehingga akan membawa hasil yang sangat signifikan dan tentunya membawa kemaslahatan bagi umat. Insya Allah. * Opini ini juga dipublikasikan di Harian Surya, tanggal 12 Maret 2010. Serta di blogku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H