Lihat ke Halaman Asli

Kenangan yang Tak Kekal

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13463132571118004709

gambar diambil dari: http://vi.sualize.us/esperando_la_navidad_by_matkraken_deviantart_inspiration_xmas_wallpapers_dec08_picture_2HCU.html

Cerpen Khotim Muzakka

“Tak ada kenangan yang bisa hilang tanpa bekas.”

Seolah sedang mengucapkannya pada seseorang yang lain. Namun, ia sadar bahwa praktis hanya sendiri. Kalimat yang ia ucapkan hilang bersama angin.

Ia seharian penuh merendam tubuhnya dalam kamar. Mengunci pintu dan menyetel musik keras-keras. Ia akan memilih satu lagu yang terus diulang. Seperti ingin menuntaskan kenangan, hingga teguran Rena seperti hanya menerobos gendang telinga. Berlalu, begitu saja.

Ia masih terbaring di atas kasur. Mengetik sesuatu di laptop. Sesuatu yang tak penting. Ia mulai sering mendengarkan Adele bernyanyi. Ia bisa sakau. Berjam-jam tanpa bosan. Di dalam kamar. Hingga teman-temannya berlalu-lalang: keluar kos dan berkegiatan. Tapi, ia tetap abai dan diam. Seperti lirik lagu yang terus menyendu.

Sometimes it lasts in love

Sometimes it hurts instead

Ia seperti ingin masuk ke sana. Bersama Adele berjalan sambil mengenang kenangan dengan mata nanar. Memicing. Pohon-pohon hitam berbaris di sepanjang jalan yang semakin jauh makin mengecil. Di pinggirnya, danau yang tenang. Angin tak mampu membuat airnya menari. Tiang lampu menjulang berbaris di sepanjang jembatan tua. Dan rambut yang melambai, bibir mulai bergetar membisikkan kenangan-kenangan yang tanggal. Satu persatu. Layaknya sebuah kehilangan yang tak pernah ia harapkan. Ia masih dan akan selalu percaya: kehilangan yang paling menyakitkan adalah ketika itu coba dilepas pelan-pelan.

Diam. Sunyi. Seorang perempuan tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya, tanpa permisi. Seperti biasanya. Setiap hari. Dengan pertanyaan yang hampir tak pernah berubah.

“Masih betah di kamar lagi?”

“Kau memang selalu begitu. Terlalu sendu.”

Perempuan itu mendekat. Melengketkan tubuhnya ke kasur. “Minggir sedikit, hari ini aku enggak kerja. Tadi malam nggak bisa tidur sampai subuh.” Perempuan itu heran. Kenapa ada laki-laki seperti dia.

“Sebenarnya, kamu laki-laki bukan?”

“Hmm, tak ada yang beda untuk urusan yang satu ini. Semua sama.”

“Jadi, sudah berapa kali kamu menangis?”

“Sesering kamu ingin melupakan kekasihmu yang menikah begitu saja. Ya, seperti itu. Sesering itu.”

“Tapi kamu beda, beda kasus!”

“Apa karena hubunganku dan dia tidak resmi? Itu sangat konvensional sekali, Rena. Dia menghilang begitu saja dan…”

“Em, termasuk tidak membalas sms nggak penting darimu?” Rena memotong. Ia kibaskan rambutnya ke muka dada. Ujung rambutnya berkilauan, seperti besi yang baru saja dibakar dalam beberapa menit berbaur dengan udara: merah.

“Emang ada yang penting di dunia ini?”

“Sudahlah. Aku mau keluar, cari makan. Mau nitip apa? Nggak pake santan kan…”

“Udang dan krupuk.”

“Nggak bosen?”

Laki-laki itu tertawa. Headseat menyumpal telinga dengan tidak sempurna. Barang rongsokan, maklumlah. Ia menarik gambar volume hingga di ujung kanan. Suara Adele semakin keras. Ia melihat perempuan berambut lurus sekira serentang telapak tangan itu berlalu menuju pintu. Ia mulai kembali terkenang pada sepasang mata. Tatapan mata yang nyalang. Seperti mata Adele.

“Hei, ngomong-ngomong, kamu menulis puisi lagi?”

“Cepat sana, kau mau cacing-cacing di perutku keluar dan memakanmu? Hah?

**

Ia tak pernah membayangkan: ia adalah seorang laki-laki asing dalam sebuah pertamuan aneh. Pertemuan picisan yang sering ia lihat di sinetron. Tertabrak di Mall, menjatuhkan buku di perpustakaan atau toko buku (dan terjulur tangan seorang laki-laki dan perempuan untuk mengambilnya dengan gerak lambat), atau kelatahan lain yang—baginya—sangat menjengkelkan. Ah, itu sangat mudah ditebak. Padahal, baginya, kehidupan adalah kotak puzzle yang tak pernah disusun dari awal. Kotak-kotak itu bertebaran di mana-mana.

“Seseorang bebas memasang kotak pertama di mana pun. Kotak kedua, ketiga, dan kesepuluh atau yang kesekian adalah soal insting.”

“Kamu mengira tengah terjebak dalam puzzle yang sangat rumit?”

“Aku akan mencari yang lebih sederhana.”

“Menyerah?”

Lelaki itu menarik nafas: dalam. Mengembuskannya pelahan. Ia melirik perempuan yang sudah ia kenal setahun lebih itu. Pada sebuah acara sebuah komunitas sastra di kampus. Di sebuah teras yang lebih tinggi dari lantai yang lain. Lampu dimatikan. Lilin-lilin dinyalakan. Ia datang agak telat. Semua orang sudah berkumpul, melingkar. Oh, tidak melingkar. Hanya menyatukan pandangan ke titik pusat perhatian. Di sana ada panggung buatan. Kemudian ia duduk, seperti biasa, dengan menekuk letut, menggandengnya dengan kedua tangan.

“Apa acara sastra mesti seromantis ini?”

Tak ada tanggapan. Suaranya seperti ditelan malam. Kemudian ia larut, seperti lilin yang luruh oleh api di tengah gulita. Ia menjulingkan mata, merapatkan fokus penglihatan pada satu titik cahaya. Cahaya yang mengantarkannya pada kenangan yang tak ingin dipadamkan oleh siapapun, bahkan dirinya sendiri.

Kemudian angin berhembus. Kertas penutup lilin bergoyang dalam beberapa detik. Orang-orang khusyuk menajamkan pendengaran masing-masing.

Di sebelahnya, seorang perempuan menyimak pemaparan dari pembicara. Bukan pembicara terkenal. Juru bicara itu adalah bagian dari mereka sendiri. Meminjam bagian tubuh untuk menyokong tubuh yang lain. Begitu yang kemudian ia pahami sebagai filosofi komunitas itu. Sebuah pemberdayaan.

Angin berhembus lagi. Kali ini lebih keras. Lebih lama. Kertas-kertas pembungkus lilin bergoyang lebih keras. Kertas itu luruh. Api menyambar, dan seperti sebuah takdir yang jatuh, lelaki itu mencoba memadamkan. Seperti seorang pahlawan. Riuh. Orang berceloteh masing-masing. Sebuah perbincangan tentang kasus plagiat yang sempat mencuat di jagat sastra.

Maka, pada penghujung acara, lelaki itu heran mendengar pengakuan perempuan itu. “Mungkin kau benar. Acara ini tak mesti seromantis ini. Aku membayangkan, mengapa acara sastra tidak digelar di tempat-tempat yang bercahaya. Mengapa harus gelap? Bukankah sastra untuk memberikan pencerahan..,” seperti menggantung pertanyaan di sebuah lorong gelap dan panjang.

Kamar yang dingin. Dua orang terdiam, agak lama. Kipas angin di meja berderak. Grek, grek, grek. Seperti penyerang dalam sebuah laga sepakbola yang ingin mencoba memecah kebuntuan, Rena mengembalikan kesadaran lelaki itu.

“Bagaimana dengan Eternal Sunshine of The Spotless?”

If only I could meet someone new.”

“Itu yang selalu kau kutip.”

“Film yang menggagas kehilangan dari hal yang tak pernah dimiliki, senyatanya.”

Bagi laki-laki itu, jalan menemukan adalah hal yang tak harus dikehendaki. Ia bisa datang dengan tiba-tiba. Dalam sebuah perjumpaan yang mendukung. Seperti musik yang terus diulang-ulang, hingga ingat bagaimana cara tubir bibir seorang penyanyi membunyikan kata-kata. Sama halnya ia mesti hafal: bagaimana seseorang yang ia cintai melakukan sesuatu. Melentikkan mata. Melangkahkan kaki. Melambaikan tangan. Tawa. Menangis.

“Termasuk mengenali punggungnya dari jarak yang cukup jauh?”

“Itu salah satunya.”

Lelaki itu membuka folder di sebuah partisi di komputernya.

“Cantik kan?”

“Hmm.., kerudungnya membuat sedikit perbedaan.”

Tanpa dikomando, ia mengklik sebuah video buatannya sendiri. Berisi sladshow perempuan dalam berbagai sudut pandang. Ia tengkurap, kemudian memejamkan mata. Rena tertawa dan memukul muka Ebel dengan bantal.

**

Seorang perempuan. Berdiri mematung di cermin. Ia sedikit menjinjit, melongok cermin yang terlalu tinggi untuk ukuran tubuhnya. Ia mencoba kerudung ungu yang baru ia beli. Ia pasang pelan-pelan, seperti seseorang yang baru belajar. Merengkuh kenangan yang pernah ia lepas. Layaknya orang yang ingin belajar mencintai hal yang asing baginya. Ia merasa agak aneh. Sebuah keputusan yang tiba-tiba. Seingatnya, terakhir kali berkerudung saat masih sekolah Islam di kampung. Sepuluh tahun lalu.

“Aku masih secantik yang dulu,” ia bergumam, pelan. Nyaris hanya dirinya yang mendengar. Ia sendiri di kamar itu. Vina, teman sekamar selama sebulan, sudah pindah dua hari lalu. Sebuah tragedi telah membuatnya memutuskan meninggalkan kenangan di kota ini. Tinggal di kota penuh kenangan akan terus menjadikannya meracau.

“Lelaki selalu sama, Ren. Mereka mempunyai banyak wajah di tiap tempat. Hati-hati Ren…”

Rena ingin melupakan kalimat itu. Keputusannya bulat. Ia mulai membangun keyakinan: tak seorang pun berhak menjadi sempurna. Apalagi seorang laki-laki, pikirnya.

Malam ini, sekira jam delapan, Ebel akan menjemputnya. Menghampirinya tepatnya. Ini memang bukan momen istimewa. Selama ini, mereka berdua selalu bersama menghadiri acara-acara sastra yang digelar di kampus-kampus. Namun, Rena ingin malam ini menjadi sesuatu yang istimewa. Bukan untuk dirinya.

“Ayo Ren…”

Rena terhenyak, agak gugup. Ebel sudah di depan kamarnya.

“Ini baru setengah tujuh.” Diambilnya kerudung yang sempat dilepas. Ia kenakan sekenanya. Kemudian berlari sambil menyilangkan tas ke pundak.

Ebel menunggu dan melongo melihat Rena.

“Jangan melihatku seperti itu. Bukankah masih satu setengah jam lagi, kenapa ke sini sekarang?”

Ebel tak menjawab. Ia masih terheran melihat Rena. “Mau hajatan di mana Ren, bukannya mau ke acara sastra?”

“Mana yang kau pilih, merawat kenangan atau menciptakannya?”

Ebel tercekat. Ia menelan ludah berkali-kali. Pertanyaan itu sunguh di luar dugaan. Karena ia juga sedang risau memikirkan kenangan. Tenggorokannya seperti hendak menetaskan sesuatu, tapi hanya memandang Rena dengan tatapan yang tajam. Sekali-kali ia mengerutkan dahi, tersenyum, dan melempar muka.

“Tiap orang harus menikmati semuanya untuk sampai ke tepi, di ujung yang tak pernah terkatakan sebelumnya.”

“Minggu ini, cerita apa yang ingin sekali kubaca dari tulisanmu?”

“Aku menyelesaikan sebuah cerita yang tak hebat. Tentunya tentang cinta. Dua orang malu-malu mengakui kalau mereka saling mencintai. Mereka kesulitan menyepuhnya menjadi kata-kata. Padahal, tiap kali menghadiri acara yang mereka sukai, selalu bersama. Si lelaki hampir tak absen memberi kabar kepada si perempuan. Begitu sebaliknya. Aneh.”

“Kamu memberi nama apa buat mereka?”

“Rena dan Ebel. Lucu, bukan?”

Kalamende, April 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline