Perdebatan mengenai poligami menjadi masalah yang krusial sehingga menyita perhatian umat Islam, karena poligami seringkali dihubungkan dengan budaya Islam bahkan sunnah Nabi. Secara historis, praktik poligami ada semenjak zaman pra-Islam, poligami dipraktikkan secara luas di kalangan masyarakat Persia, Yunani, dan Mesir kuno, bahkan masyarakat Arab pun mempraktikkan poligami.
Sejumlah riwayat menceritakan bahwa rata-rata pemimpin suku kala itu memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit kepala suku yang mempunyai istri sampai ratusan. Perbedaan penafsiran terhadap ayat poligami menyebabkan perdebatan pendapat diantaranya ialah mempersoalkan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam poligami, yakni adil.
Yang ditafsirkan dari surat al-Nisa' ayat 3, yang terjemahannya: "Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat."
Prinsip Keadilan Dalam Poligami Adalah Keharusan
Beberapa pendapat menyatakan bahwa asas keadilan bukan hanya sekedar takaran kuantitatif saja, semacam pemberian materi atau waktu gilir antar-istri, akan tetapi mencakup pula keadilan secara kualitatif, yakni kasih sayang yang merupakan pondasi dan filosofi utama kehidupan rumah tangga.
Pendapat ini didukung oleh golongan ulama yang menyatakan bahwa maksud adil dalam poligami adalah adil dalam segala hal, baik dalam hal materi semacam kebutuhan yang terkait dengan jaminan atau fisik, maupun dalam hal imateri (perasaan). Seorang suami dituntut adil seperti dalam hal nafkah, rumah, kecintaan, kasih sayang, giliran menginap dan semacamnya.
Jika suami tidak mampu berbuat adil, maka tentu akan ada konsekuensinya. Ada salah satu hadist yang menurut Syaikh Al Albani hadits tersebut shahih sebagaimana dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1949, Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Siapa yang memiliki dua orang istri lalu ia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya yan miring." (HR. Abu Daud no. 2133, Ibnu Majah no. 1969, An Nasai no. 3394.)
Pendapat lain yang dikatakan oleh Sayyid Qutub, ia berpendapat bahwa poligami merupakan suatu perbuatan rukhsah (keringanan), yang bisa dilakukan hanya dalam keadaan darurat saja. Kebolehan ini disyaratkan bisa berbuat adil kepada istri-istrinya. Keadilan yang dituntut di sini termasuk dalam bidang muamalah, nafkah, pergaulan serta pembagian malam. Jadi bagi suami yang tidak bisa berbuat adil, diharuskan cukup satu saja.
Penafsiran Ayat Poligami
Penafsiran ayat 3 QS: an-Nisa secara eksplisit menegaskan bahwa seorang suami boleh beristri lebih dari seorang sampai batas maksimal empat orang dengan syarat mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya itu
Bahkan ketika ayat ini turun, Rasulullah memerintahkan semua laki-laki yang memiliki lebih dari empat, agar segera menceraikan istri-istrinya sehingga maksimal setiap orang hanya memperistrikan empat orang wanita saja.