Diskriminasi terhadap perempuan menjadi salah satu diskursus yang masih ramai diperbincangkan saat ini, apalagi dengan melihat masyarakat Indonesia yang masih kental dengan budaya patriarkinya. Tindakan diskriminatif terhadap perempuan tentu saja dipengaruhi oleh konsep patriarkis dan pemahaman superioritas yang masih mengakar dalam kehidupan sehari-hari.
Stereotip terhadap perempuan salah satunya adalah mengenai stigma keperawanan, banyak mitos keperawanan yang berkembang di masyarakat dengan mengidentifikasi perempuan dari berbagai sisi. Misalnya, melihat dari bentuk pinggul, bentuk payudara, cara berjalan, bahkan sampai pada konteks selaput dara, yang ditandai ketika hubungan malam pertama harus mengeluarkan darah sebagai tanda ia masih perawan.
Hal itu tentu saja menjadi masalah perempuan dengan identifikasi "mitos keperawanan" oleh masyarakat, sebab pelabelan tidak perawan seringkali perempuan tersebut dijatuhi hukuman berat oleh keluarganya bahkan sanksi sosial oleh masyarakat.
Selaput Dara yang Halus Bernama Kehormatan
Keyakinan masyarakat terhadap perempuan bahwa ia dilahirkan dengan memiliki selaput yang indah bernama selaput dara yang dianggap sebagai bagian tubuh yang sangat penting. Karena selaput tipis bernama selaput dara tersebut menentukan harga diri dan kehormatan seorang gadis di dalam masyarakat.
Keyakinan tersebut tidak hanya menjamur di masyarakat kita, mengutip dari buku yang berjudul Perempuan dalam Budaya Patriarki yang ditulis oleh Nawal El Saadawi, menyatakan bahwa banyak sebagian masyarakat Arab yang percaya bahwa keperawanan hanya ditakdirkan kepada anak perempuan saja tidak bagi laki-laki. Tuhan memberi mereka selaput dara sebagai alat pembuktian keperawanannya.
Nawal menceritakan bahwa ia sering menghadiri beberapa pesta perkawinan, bahwa ada ritual untuk pembuktian keperawanan seorang pengantin perempuan. Biasanya dilakukan oleh seorang perempuan disebut 'daya' yang merobek vagina pengantin baru tersebut. Lalu biasanya ayah si pengantin baru bangga ketika mengangkat sehelai handuk putih yang dicemari darah, berkumpul dengan sanak keluarga merayakan bahwa kehormatan anak gadis itu masih utuh. Padahal seorang daya tersebut sembarang melukai dinding vaginanya agar mengeluarkan darah.
Sebab keperawanan masih menjadi standar moral dalam masyarakat kita untuk menghukumi dan memberi nilai kepada seorang anak perempuan. Kesucian dan keperawanan dianggap penting bagi perempuan sementara kebebasan dan kebejatan dipandangan sebagai sesuatu hal yang lumrah bagi laki-laki.
Anatomi Selaput Dara yang Berbeda
Padahal jika merujuk pada data Statistik Institut Kedokteran Forensika, Baghdad, menyatakan bahwa setiap anak perempuan dilahirkan dengan kondisi selaput dara yang berbeda. Diketahui bahwa 11,2% gadis dilahirkan dengan selaput dara yang elastis, 16,16% dilahirkan dengan selaput dara yang mudah robek, 31,32% dilahirkan dengan selaput dara yang tebal, dan yang elastis hanya terdapat sebesar 41,32% gadis yang dilahirkan dengan selaput dara yang normal.
Dengan demikian tidak semua gadis terlahir dengan memiliki selaput dara yang normal, yang ditandai dengan "darah merah yang menodai sprei putih". Suatu ketika Nawal menangani seorang pasien yang mengadukan perutnya terasa penuh, akan tetapi setelah memerika gadis itu ia tidak menemukan tanda-tanda kehamilan, sebaliknya ia menemukan bahwa gadis ini dilahirkan dengan selaput dara yang tebal, elastis dan tidak berlubang. Pembengkakan dalam perutnya disebabkan oleh tidak adanya lubang dalam selaput daranya, sehingga tidak dapat mengalir keluar.