Lihat ke Halaman Asli

Budaya Beretorika dengan Adab

Diperbarui: 29 Juni 2024   23:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sebagai sebuah ilmu, dakwah dan retorika seharusnya bebas dari nilai-nilai non-ilmiah. Artinya, ilmu dakwah dan ilmu retorika harus dikembangkan berdasarkan pengetahuan saja, tanpa dipengaruhi pertimbangan lain seperti etika. Namun, dalam praktiknya, dakwah dan retorika tetap perlu mempertimbangkan etika. Meskipun kedua ilmu ini bebas nilai, mereka harus memperhatikan kebenaran dan dampaknya, karena mereka terikat oleh etika yang berasal dari ajaran agama dan budaya.

Dengan demikian, etika dan ilmu dalam retorika dakwah harus disatukan. Dalam konteks ini, ilmu tidak hanya untuk ilmu itu sendiri, melainkan untuk kebaikan dan kemudahan hidup manusia di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, ilmu harus digunakan untuk kemanusiaan, yang menunjukkan pentingnya etika.

Secara praktis, retorika dakwah bukan hanya tentang bagaimana berdakwah secara efektif dan efisien, menarik dan atraktif, tetapi juga tentang tata krama, keramahan, dan budi pekerti yang luhur. Dakwah pada awalnya adalah subjektif, dogmatik, dan penuh nilai. Retorika juga berawal dari budaya dan sistem nilai.

Retorika, yang lahir dari budaya, berkembang menjadi seni bertutur, kemudian menjadi pengetahuan, dan akhirnya diakui sebagai ilmu, pada puncaknya harus diikat oleh etika. Budaya, seni, pengetahuan, dan ilmu manusia harus disatukan dengan etika.

Demikian juga dengan dakwah. Berawal dari dogma atau ajaran agama, kemudian menjadi pengetahuan berdasarkan pengalaman yang belum teruji secara ilmiah, dan akhirnya menjadi ilmu dakwah yang diakui, tentu harus disertai dengan etika. Dalam berdakwah, kesopanan, keramahan, dan budi pekerti seorang dai harus selalu ada.

Memadukan etika dan ilmu dalam retorika dakwah menghasilkan dua hal. Pertama, menghapuskan komodifikasi dakwah. Komodifikasi dakwah mengubah dakwah menjadi komoditas atau barang dagangan, yang sering berlindung di bawah profesionalisme dan manajemen. Dai yang berilmu dan beretika menolak komodifikasi dakwah.

Dai dan mitra dakwah dilarang keras membisniskan dakwah, meskipun mereka boleh berdakwah tentang bisnis. Nabi, para sahabat, dan ulama banyak yang berprofesi sebagai pedagang. Dai harus menghidupkan dakwah, bukan menggantungkan hidup dari dakwah.

Kedua, memadukan ilmu dan etika dalam retorika dakwah akan menjadikan dai profesional dalam arti sebenarnya. Profesional bukan berarti terkenal, memiliki manajer, dan dibayar, tetapi memiliki etika dan ilmu dalam berdakwah dan beretorika.

Profesional tidak berarti tidak memiliki pekerjaan selain sebagai dai. Dai boleh bekerja sebagai apa saja tanpa mengabaikan profesionalisme. Seorang dai profesional adalah yang menghayati sepenuh hati apa yang dikatakan dan mengamalkannya berdasarkan etika dan ilmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline