Lihat ke Halaman Asli

Strategi Efektif Melihat Proses Gaya Belajar Anak

Diperbarui: 20 Juni 2015   02:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Nak, bagus sekali nilaimu hari ini?”, tanya Wanda pada anaknya.

“Ya lah buk, kan kemarin aku belajar. Ibu juga mau kasih aku hadiah kan?”, ujar Andi.

“Oh iya. Ibu ambilkan dulu ya nak.”, Wanda mengambil sesuatu dan memberikannya.

“Lohhh.. kok ini bu. Kan kemarin janjinya mau kasih mobil remot” sanggah Andi.

“Ya nak ibu minta maaf. Kemarin memang banyak pengeluaran” jelas Wanda.

“Ya udah besok gak mau masuk lagi. Males ahh..”, rengek Andi.    

Sepenggal cerita di atas memberikan gambaran pembeljaran yang sering terjadi. Khusnya di lingkungan keluarga, sekolah, dan sebagainya. Dimana anak atau pelajar di-imingi sesuatu untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Terlebih perlakuan seperti itu, sering terjadi di sekitar kita. Kritik yang terjadi, kita menuntut seseorang berorientasi pada hasil bukan pada proses. Tentu perlakuan seperti ini dimaksudkan banyak orang, untuk menjawab persaingan.

Beberapa upaya dilakukan untuk menunjang atau mengangkat prestasi siswa. Hal ini dilakukan melalui pelajaran tambahan, les belajar, atau meniadakan waktu bermain. Sehingga siswa merasa tidak bebas berekspresi, karena semakin terbatas ruang yang diberikan. Untuk menunjang agar siswa berprrestasi, orang tua atau gurucenderung memberi hadiah tertentu apabila perilaku atau prestasi bias diwujudkan siswa.

Pada perspektif behavioristik, perilaku sangat dipengaruhi lingkungan. Melalui teori Pavlov, Skiiner, Watson, dan Bandura mencoba menjawab perilaku melalui pendekatan masing-masing. Pavlov lebih pada perilaku yang dipelajari, Skinner pada pengondisian, Watson melalui trial-error dan Bandura pada aspek yang lebih berkembang, kognitif. Tetapi perilaku yang dipelajari oleh ahli behavioristic hanya menekankan pada perilaku yang dituju saja. Ketika dihadapkan pada berbagai perilaku, behavioristic tidak mampu menjawab.

Oleh karena itu, karena terlalu banyak meng-aplikasikan pada pembelajaran seakan – akan guru dan siswa kurang mampu membuka fikiran terhadap sesuatu di luar kelas. Guru cenderung terpaku pada materi atau pelajaran yang diberikan melalui modul. Sementara siswa kurang mampu menghubungkan materi dengan kehidupan sekitar. Sehingga keduanya hanya terkungkung pada media yang tersedia.

Pembelajaran pada perspektif behavior lebih banyak berakar pada eksperimen. Perilaku yang metode lebih disandarkan melalui percobaan melalui perilaku hewan laboratorium. Kemudian perilaku ini disamakan atau diterapkan pada manusia. Melalui teori evolusi, agaknya struktur otak kita kurang lebih sama dengan hewan – hewan tersebut. Oleh karena itu penerapannya dirasa mengabaikan manusia yang memiliki akal, tidak sama dengan hewan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline