Lihat ke Halaman Asli

Kholil Rokhman

IG di kholil.kutipan

Cerpen | Cerita para Penjual Pelicin

Diperbarui: 28 Februari 2020   05:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

hanya ilustrasi saja, sumber kompas.com

Pak Kasmo, begitu biasa dia disapa. Tetanggaku ini pensiunan pegawai pemerintah. Sudah 5 tahun dia pensiun. Tak banyak yang dia kerjakan karena anak-anaknya sudah memiliki kehidupan sendiri di luar kota. Sementara, istri Pak Kasmo sudah lama meninggal dunia.

Di pagi hari, dia sering jalan sendiri ke ujung gang kami. Di ujung gang,  dia hanya melihat orang-orang berangkat kerja ke kantor, berangkat ke sawah, anak-anak berangkat sekolah. Sesekali dari orang yang lalu lalang itu dia kenal, Pak Kasmo memanggilnya.

Lima tahun, dia sering menghabiskan pagi di ujung gang. Kemudian, sekitar jam 08.30 ketika jalanan sudah tidak terlalu ramai dengan lalu lalang orang berangkat beraktivitas, Pak Kasmo pergi ke warung Sri yang ada di gang lain tak jauh dari gang kami.

Jam segitu memang tak banyak yang makan di warung Sri, maklum itu jam nanggung karena sudah tak terlalu pagi dan belum bisa dikatakan siang. Nah, di waktu warung sepi itu, Pak Kasmo kadang sering bercanda dengan Sri. Keduanya kadang tertawa terpingkal-pingkal. Klop memang keduanya karena Pak Kasmo duda, Sri janda. Kadang Pak Kasmo juga colek-colek Sri untuk meminta tambahan sambal. Hmmm, Pak Kasmo memang tua-tua keladi.

Mungkin hari-hari bahagia bercanda dengan Sri itulah yang membuat Pak Kasmo masih segar bugar. Kondisi Pak Kasmo berbeda jauh dengan beberapa teman pensiunnya yang tak bisa keluar rumah. Ada yang kena gula dan sudah tak bisa jalan. Ada yang kena stroke. Ada juga yang pikun setiap hari hanya ingin berangkat kerja, tapi berdiri saja sudah tak bisa.

Setelah dari warung Sri, Pak Kasmo pulang melihat televisi. Siangnya dia tidur dan sorenya dia ke rumahku. Aku pulang kerja jam 4 sore. Sekitar jam setengah lima, Pak Kasmo sering nongkrong di depan rumahku. Kami sering bicara sekenanya di teras rumah. Jam segitu, dua anakku sedang di masjid untuk mengaji. Sementara istriku biasa di dapur.

"Remuk semua Pur," kata Pak Kasmo  padaku dengan wajah serius.

"Siapa yang remuk? Sri, pak?" kataku.

Pak Kasmo spontan malu-malu kucing sembari menahan tawa. Tapi kemudian wajahnya serius lagi. "Ngga lah... Sri ya buat selingan Pur. Hidup kalau tidak ada selingan, tak ada variasi," ujar Pak Kasmo.

"Remuk semua orang-orang sekarang Pur. Aku kan pensiunan Pur. Masa ngurus data-data keluarga kok ditarik biaya. Itu kan ilegal Pur," ujarnya. Aku tak sempat menyela karena Pak Kasmo berbicara seperti jalannya kereta, tanpa ban bocor, tanpa lampu merah.

"Tiga hari lalu, aku beli spring bed setelah dikirimi Tutik (anak pertama Pak Kasmo yang hidup di Jakarta). Yang jual bilang bahwa spring bed bakal dikirim sampai rumah tanpa biaya. Biayanya sudah masuk dalam harga spring bed. Spring bed kemudian dikirim dengan mobil bak terbuka. Sampai rumahku. Eh sopirnya terang-terangan bilang, 'Pak uang rokok'. Sembari bilang, 'ini spring bed di teras ya pak'," kata Pak Kasmo.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline