Sampai saat ini, Irfan dikenal sebagai salah seorang pemuda desa yang biasa-biasa saja. Kecerdasannya berada di tingkat rata-rata. Ditambah lagi ia tidak memiliki skill khusus yang membuatnya lebih gampang dikenal orang lain. Saat ditanya mengapa Irfan tidak mencoba mendalami suatu bidang ilmu untuk menambah kapasitas diri, ia hanya menjawab, "Saya lebih suka menjadi hidup yang biasa-biasa saja".
Jika ditarik pada sejarah dua tahun yang lalu, sebelum Irfan lulus dan menyandang gelar sarjana pendidikan, tak sedikit pun Irfan menunjukkan keahlian dirinya di hadapan banyak orang. Tak seperti para aktivis kampus yang rata-rata suka speak up dan cari muka di banyak forum. Berusaha menunjukkan eksistensi diri yang lebih unggul dibanding yang lain. Entah, hal itu ditunjukkan untuk memberikan teladan yang baik atau sekadar untuk memuluskan misi mencari orang dalam yang suatu saat nanti, bisa berguna menjebolkan diri dalam mendapat pekerjaan.
Saat masih aktif menjadi mahasiswa, Irfan juga sama seperti yang lain dalam beberapa hal; lupa mengerjakan tugas, beberapa kali tidak masuk kuliah, mendapat teguran dosen, jalan-jalan di waktu weekend, sampai akhirnya lulus di tahun keempat dengan IPK 3.5. Sebuah pencapaian yang tidak jelek, tapi juga tidak layak untuk dibanggakan. Sampai akhirnya Irfan memilih pulang kampung untuk mengurus beberapa hal hal penting katanya. Entah itu apa.
Tak berselang lama, melalui proses yang tak diketahui banyak orang, Irfan dikabarkan sudah bekerja sebagai tenaga pengajar di salah satu Perguruan Tinggi Swasta dekat rumahnya. Meski masih belum berstatus Negeri, tapi bekerja sebagai tenaga pendidik di perguruan tinggi sudah menjadi kehormatan tersendiri di kalangan masyarakat. Hal itu pula yang memancing pembahasan di banyak tempat.
"Hebat ya Irfan, nggak sia-sia dia kuliah. Sekarang udah jadi dosen aja," ucap Edi. Lulusan perguruan tinggi yang jadi kuli panggul.
"Iya, padahal kalau ingat bagaimana dia dulu, sepertinya nggak ada potongan sama sekali dia bakal jadi dosen," sahut Habib. Tukang sayur yang bercita-cita ingin naik haji.
"Pinter ya nggak, kecerdasan ya biasa-biasa aja, masalah kualitas dan kuantitas karya ilmiah juga tak jauh berbeda dengan yang lain," balas Edi. Kemudian menyeruput kopi panasnya yang mulai mendingin.
Pembahasan di warung Mpok Jum memang tidak pernah mengalami sepi. Selalu ada percakapan yang terbangun dari cerita-cerita lintas arah. Mengalir seperti sungai. Terbang bersama udara. Dan selalu menemukan ritmenya sendiri untuk berhenti. Cerita-cerita itu kadang dibawa oleh orang-orang besar yang sukses meraup banyak rupiah di tempat perantuan, kadang pula dari orang-orang tertindas yang kalah pada nasib. Canda tawa, caci-maki, dan saling hujat sudah bukan perkara asing lagi di sana.
Tak lama dari itu, Danial datang. Tanpa disuruh, ia langsung duduk dan menyampaikan pesanan. Salah seorang dosen senior yang juga berada dalam satu instansi dengan Irfan.
"Wah, sedang ngobrolin apa nih, sepertinya seru banget," ucap Danial begitu selesai meletakkan bokongnya di kursi.