Lihat ke Halaman Asli

Seni Berpolitik Cerdas Generasi Milenial dalam Kontestasi Politik di Era Digital

Diperbarui: 9 Desember 2023   08:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Peran anak muda dalam kontestasi politik kontemporer sangat diperhitungkan sebagai bagian penentu kemajuan dan keberhasilan demokrasi. Ditengah saat ini, Indonesia sedang menghadapi era bonus demografi yang dimana penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan lebih besar dibanding usia non-produktif (65 tahun keatas) dengan proporsi lebih dari 60% dari total penduduk Indonesia. Momentum tersebut tentu harus dihadapi dengan perencanaan yang matang. Hal yang sama juga disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan  (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan bahwa "Melimpahnya SDM yang produktif tidak akan bisa produktif apabila tidak adanya fasilitas yang sesuai dengan keterampilan dan bidang yang dikuasai". Maka dalam menghadapi tahun politik saat ini, pemerintah perlu menyadari bahwa pentingnya peran pemuda dalam pelaksanaan kontestasi politik merupakan bagian dalam upaya mempersiapkan kualitas SDM yang mempuni.

Posisi generasi milinial saat ini memang sangat diperhitungkan pada tahun politik mendatang. Hal ini menunjukkan bahwa generasi milenial sangat dibutuhkan dalam kemajuan dan perkembangan kebijakan-kebijakan strategis yang bermanfaat bagi lingkungannya. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tahun 2018 lalu, jumlah pemilih muda generasi milenial mencapai 70-80 juta jiwa dari total 193 juta pemilih se-Indonesia. Artinya, hampir 40% pemilih milenial memiliki pengaruh yang besar terhadap hasil pemilu dan dalam menentukan pemimpin untuk masa mendatang.

Belakangan ini, kita juga melihat beberapa partai politik yang melakukan kampanye dengan semboyan "Politik Anak Muda". Inisiatif untuk menyusun strategi kampanye berbasis keterlibatan anak muda merupakan salah satu langkah efektif bagi partai meraup suara mayoritas yang saat ini dimiliki anak-anak muda. Seperti halnya Partai Amanan Nasional (PAN) membentuk Kaukus Milenial, Partai NasDem membentuk Garda Pemuda NasDem, dan partai lainnya yang juga sama memiliki fokus perekrutan suara milenial. Hal ini tentu didasarkan pada kesempatan strategis bagi para organisasi-organisasi politik untuk melalui berbagai percepatan dalam memberikan ruang bagi anak muda untuk terjun ke dalam dunia politik praktis.

Maka dari itu, agar anak-anak muda mampu beradaptasi memberikan dampak positif sebagai arti kehadiran mereka dalam proses kontestasi politik mendatang dibutuhkan adanya bekal pengetahuan sebagai modal mereka dalam bersaing secara ideal dan konsisten. Anak muda sebagai bonus demograsi harus dimaknai sebagai kesempatan bagi Indonesia untuk melalukan berbagai percepatan pembangunan dengan dukungan sumber daya manusia (SDM) produktif yang melimpah. Apalagi ini berkaitan dengan agenda besar pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals) Indonesia di tahun 2030.

Gejolak keterlibatan anak muda dalam kontestasi politik nasional bisa dimaknai sebagai dampak baik dan buruk. Salah satu dampak buruk akibat dari keterlibatan anak muda sebagai partisipasi politik adalah ketidakingintahuan (apatisme) mereka terhadap proses politik yang terjadi saat ini. Akibatnya, banyak pemilih muda mengabaikan seluruh pelaksanaan politik yang diakibatkan dari tindakan penyelewengan tugas oleh para perumus kebijakan. Inilah yang harus menjadi perhatian utama terkhusus bagi pemerintah dan partai politik untuk dapat menumbuhkan kembali kepercayaan anak-anak muda untuk berpartisipasi ke dalam dunia politik.

-Apatisme Politik Generasi Muda 

 Sejak Indonesia memasuki era reformasi yang dimana penunjukan keterwakilan dilakukan secara langsung oleh seluruh masyarakat hingga saat ini masih memperlihatkan indikasi tingginya angka golongan putih (golput), yaitu masyarakat pemilih yang tidak bersedia hadir di tempat pemungutan suara untuk menyalurkan haknya dalam memilih. Hal ini disebabkan oleh figur yang ditawarkan dan masyarakat tidak puas terhadap kinerja partai politik. Praktik politik uang (money politics) masih menjadi tren dan merupakan ancaman dalam mempengaruhi keputusan seseorang untuk menentukan pilihan politiknya.

Faktor penentu partisipasi politik dalam masyarakat terkhusus dikalangan anak muda terbentuk dari beragam faktor, baik internal dari dalam individu maupun faktor eksternal dari luar dirinya. Secara internal beberapa faktor yang membentuk kesadaran politik adalah melalui pemahaman mengenai hak dan kewajiban, tingkat literasi politik dan derajat minat atau perhatian terhadap isu politik. Sementara faktor eksternal yang mempengaruhi kesadaran politik adalah pendidikan politik yang berperan sangat penting dalam membangun kesadaran politik sejak generasi muda. Kesadaran politik akan menentukan banyak hal seperti tingkat partisipasi pemilih, serta kemauan generasi muda untuk melibatkan diri dalam pembahasan isu-isu publik terkait dengan kebijakan negara. Pada akhirnya, partisipasi politik yang baik oleh anak muda akan meningkatkan kepercayaan dan legitimasi pemerintah sebagai pemangku kebijakan serta mendorong kehidupan demokrasi yang lebih baik.

Kondisi diatas menunjukkan bahwa masih minumnya kepedulian para pemuda terhadap politik. Sikap apatisme inilah apabila terus berlangsung maka dapat mempengaruhi dinamika demokrasi dan perpolitikan di setiap daerah. Sikap apatisme para kaum muda menjadikan ajang pemilihan umum kehilangan banyak suara mereka secara sia-sia, padahal suara tersebut berpotensi besar untuk menentukan keterpilihan seorang politisi. Apatisme generasi muda terhadap dunia politik tersebut erat kaitannya dengan pemahaman generasi saat ini terhadap politik, yang melihat politik sebagai produk yang baik, formal, birokratis ataupun dianggap sekedar sebagai cara memperoleh kekuasaan dan uang. Hal ini yang membuat generasi muda apatis terhadap politik yang disebabkan oleh rasa kekecewaan mereka terhadap politisi usia lanjut maupun muda yang menampilkan perebutan kekuasaan dibandingkan aspek pengelolaan kebijakan yang membawa kemanfaatan bagi masyarakat.

Peran media massa dan media sosial juga menjadi faktor yang mempengaruhi persepsi negatif anak muda terhadap politik, karena banyaknya informasi dan berita di media yang lebih banyak mengungkap sisi negatif politik seperti konflik, perebutan kekuasaan, dan upaya saling menjatuhkan lawan politik. Sementara sisi positif dari aktivitas politik kurang diberitakan secara meluas. Kesan yang ditangkap oleh kaum muda pada akhirnya adalah penilaian buruk terhadap dunia politik. Hal tersebutlah yang membuat dalam berbagai proses pemilu di banyak daerah, generasi muda tidak antusias memberikan suara di bilik -- bilik TPS. Fenomena apatisme politik generasi muda tersebut semakin diperkuat dengan melemahnya peran lembaga keluarga, dunia pendidikan atau sekolah, serta media massa dalam menyosialisasikan pendidikan, pengetahuan dan literasi politik untuk para generasi muda. 

-Pendidikan Politik untuk Generasi Muda sebagai "Agent of Change"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline