"Ayah, ayo sepedaan lihat sawah," rengek adikku ketika Ayah sedang menikmati teh di sore hari di teras rumah nenek.
"Sebentar dik, teh Ayah kan belum habis, lagi pula langitnya mendung, nanti kalau kehujanan gimana?" Ibu mencoba menolak permintaan adik dengan halus.
Tapi sepertinya adikku, Yafi tetap memaksa Ayah untuk berputar-putar keliling desa naik sepeda. O ya kami sekeluarga memang sedang berlibur di rumah kakek.
"Ayah, cepetan minumnya, nanti keburu malam ndak jadi naik sepedanya," adikku masih merengek kepada Ayah.
Akhirnya Ayahpun menghabiskan tehnya dan beranjak mengambil jaket serta sepeda. Ibu hanya geleng-geleng kepala melihat sikap adik yang baru berusia 4 tahun itu yang memang sering tidak bisa dikendalikan kemauannya.
"Ahmad, ayo ikut sepedaan sama adikmu, Cepetan keburu hujan ini" pinta Ayah kepadaku.
Akhirnya akupun ikut naik sepeda bersama Ayah. Adikku dibonceng Ayah di depan dan aku bonceng di belakang. Sepeda yang kami pakai adalah sepeda kuno yang masih sangat bagus dan kuat karena dirawat sama kakek.
Kami sangat menikmati pemandangan dan udara yang sangat sejuk dan segar disepanjang perjalanan. Desa kakek memang masih alami, banyak pepohonan rindang di tepi jalan dan masih luas sawah serta kebun di desa ini.
"Ayah, lihat banyak sekali burung burung di sawah itu," adikku tak henti hentinya menanyakan apapun yang dilihatnya.
"Itu namanya burung Kuntul, dia makan padi yang ada di sawah itu," jawab Ayah sambil mengayuh sepeda pelan-pelan.
"Yah, kenapa burungnya dibiarkan makan padi, kenapa tidak diusir," aku juga penasaran melihat banyaknya burung yang bebas beterbangan dan makan padi yang tengah menguning di sawah.
"Sebenarnya juga diusir, lihat tali yang dipenuhi kaleng kaleng di tengah sawah itu. Itu adalah alat pengusir burung dengan cara ditarik-tarik sehingga kaleng-kalengnya akan bergemerincing menakuti burung dan burungnya jadi terbang menjauh," Ayah menjelaskan sambil menghentikan sepedanya di pinggir sawah.