Korupsi pada sektor pendidikan, termasuk perguruan tinggi negeri (PTN), hingga kini masih merupakan persoalan serius yang mengancam integritas dunia pendidikan kita. Betapa tidak, sejumlah PTN sebagai institusi yang seharusnya menanamkan nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan antikorupsi, justru telah menjadi tempat praktik-praktik lancung tersebut. Menurut Direktur Jejaring Pendidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Dian Novianthy, terdapat tiga area utama yang sangat rentan terhadap korupsi di PTN: publikasi, penelitian, dan pengabdian pendidikan; pengadaan barang dan jasa; serta pengelolaan keuangan.
Berdasarkan program Penguatan Integritas Ekosistem Perguruan Tinggi Negeri (PIEPTN) 2024, diketahui sebanyak 137 PTN terlibat dalam asesmen mandiri yang dilakukan oleh KPK. Hasilnya menunjukkan data ihwal tingginya risiko korupsi di lingkungan kampus. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) 2023 mencatat 30 kasus korupsi sektor pendidikan yang ditindak penegak hukum. Laporan ICW 2021 juga menempatkan sektor pendidikan kita sebagai sektor kelima paling rawan korupsi. Fenomena ini tentunya mencerminkan tantangan besar dalam menjaga integritas PTN sebagai pusat pembelajaran dan pengembangan moralitas bangsa.
Modus dan Pelaku Korupsi di PTN
Korupsi di PTN melibatkan berbagai pelaku, mulai dari pimpinan hingga pihak eksternal. Beberapa modus yang sering terjadi antara lain manipulasi seleksi mahasiswa baru "Jalur Mandiri". Seperti sudah banyak dipublikasikan, berapa rektor dan pejabat kampus PTN telah memanfaatkan penerimaan mahasiswa baru, khususnya jalur mandiri, untuk mendapatkan suap. Salah satu kasus paling mencolok adalah penangkapan Prof. Dr. Karomani, mantan Rektor Universitas Lampung (Unila), yang menerima suap dalam penerimaan mahasiswa baru. Kasus ini juga melibatkan Wakil Rektor I dan Ketua Senat Unila.
Modus korupsi selanjutnya pada Pengadaan Barang dan Jasa. Sektor ini kerap menjadi celah untuk mark-up anggaran dan kolusi dengan penyedia jasa. Modus ini melibatkan kolaborasi antara pejabat kampus dan pihak ketiga. Modus berikutnya manipulasi Penelitian dan Publikasi. Ditengarai beberapa staf akademik atau dosen melakukan penipuan data penelitian atau mempublikasikan karya palsu untuk mendapatkan dana penelitian. Kemudian modus lainnya yakni pengelolaan Dana Universitas. Kasus yang dilakukan oleh mantan Rektor Universitas Jember, Prof. Abdul Haris, menunjukkan bagaimana dana universitas disalahgunakan. Dana yang seharusnya digunakan untuk kepentingan akademik dikelola tanpa transparansi.
Semua perguruan tinggi atau universitas, terlebih-lebih PTN, seharusnya menjadi mitra strategis KPK dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi. Kampus memiliki potensi besar sebagai pusat kajian, tempat rekaman persidangan, hingga penyelenggara kuliah umum antikorupsi. Namun dalam realitasnya, kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat kampus justru menunjukkan bahwa PTN sering gagal menjalankan perannya. Fenomena ini sangat ironis karena dampak buruk maraknya korupsi di PTN misalnya, tidak hanya mencederai dunia pendidikan, tetapi juga menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan tinggi di negeri ini.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan political will dari pimpinan universitas dan seluruh sivitas akademika untuk membangun kembali budaya integritas, transparansi, dan akuntabilitas, sehingga PTN di negeri ini dapat menjalankan fungsinya secara optimal.
Penguatan Peran dan Fungsi MWA
Korupsi di PTN tidak dapat diselesaikan hanya dengan menangkap pelaku individu. Dibutuhkan reformasi struktural untuk mencegah korupsi secara sistemik. Salah satu langkah penting adalah penguatan Majelis Wali Amanat (MWA) sebagai badan tertinggi di lingkup universitas.
Masalahnya, faktanya keanggotaan MWA saat ini, sebagaimana diatur dalam PP Nomor 51 Tahun 2015, masih didominasi oleh unsur pimpinan kampus, termasuk rektor. Hal tersebut membuka peluang terjadinya konflik kepentingan yang membuat pengawasan terhadap rektor dan pejabat kampus menjadi sulit dilakukan secara transparan dan akuntabel.