Kongres Pemuda 1928 merupakan peristiwa penting dalam sejarah perjuangan nasional Indonesia. Kongres ini melahirkan Sumpah Pemuda, yang menegaskan satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa, yaitu bahasa Indonesia.
Meskipun demikian, terdapat perdebatan mengenai bahasa yang sebenarnya digunakan sebagai bahasa pengantar dalam kongres tersebut. Beberapa pihak meyakini bahwa bahasa Belanda digunakan sebagai medium komunikasi, sementara yang lain berpendapat bahwa bahasa Melayu menjadi bahasa pengantar utama.
Mereka yang berpendapat bahwa bahasa Belanda digunakan dalam Kongres Pemuda beralasan bahwa sebagian besar peserta kongres merupakan lulusan sekolah kolonial Belanda.
Pada masa itu, pemerintah kolonial mendirikan berbagai sekolah dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, seperti HIS (Hollandsch-Inlandsche School) untuk anak-anak pribumi, ELS (Europese Lagere School) bagi anak-anak Eropa, serta MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) setingkat SMP.
Selain itu, terdapat HBS (Hogere Burgerschool) dan AMS (Algemene Middelbare School), sekolah menengah atas yang mempersiapkan siswa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, baik di Hindia Belanda maupun Belanda.
Ada juga Kweekschool, sekolah guru yang melatih para pengajar HIS dan ELS. Sekolah-sekolah ini menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya, dan lulusannya umumnya fasih berbahasa Belanda.
Bahasa Belanda kemudian menjadi simbol status sosial dan keintelektualan di kalangan terdidik pribumi. Banyak lulusan sekolah Belanda yang menggunakan bahasa ini sebagai sarana komunikasi sehari-hari, baik dalam konteks formal maupun informal.
Penggunaan bahasa Belanda juga memberikan prestise sosial tertentu, karena menunjukkan latar belakang pendidikan yang lebih tinggi.
Dengan demikian, wajar jika bahasa Belanda digunakan dalam Kongres Pemuda karena peserta umumnya berasal dari kelompok elit yang menguasai bahasa tersebut dengan baik. Hal ini dianggap mempermudah komunikasi di antara mereka yang memiliki latar belakang pendidikan dan bahasa serupa.
Selain faktor pendidikan, penggunaan bahasa Belanda dalam kongres tersebut juga disebabkan oleh pengawasan ketat dari pemerintah kolonial terhadap aktivitas politik pribumi.