Dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), penggunaan abreviasi atau akronim nama pasangan calon telah menjadi strategi komunikasi yang sangat umum. Berdasarkan kajian yang penulis lakukan pada dua Pilkada serentak di Jawa Barat (2018 dan 2015), lebih dari 80% para kandidatnya menggunakan strategi komunikasi abreviasi.
Fakta tersebut menunjukan bahwa abreviasi di mata sebagian besar kandidat, tidak hanya dinilai akan mempermudah cara pengucapan dan penyebutan nama, tetapi juga berfungsi dalam membentuk persepsi pemilih. Esai ini akan menganalisis efektivitas abreviasi dari sudut pandang linguistik dan komunikasi politik, serta mengungkap dampaknya terhadap cara pemilih merespons mereka.
Pengabreviasian adalah proses menciptakan kata yang lebih pendek atau simbol dari frasa yang lebih panjang. Proses ini melibatkan pengurangan huruf atau suku kata, tetapi tetap menjaga pengucapan dan makna kata aslinya. Dalam konteks ini, abreviasi dirancang untuk mempermudah penyampaian pesan kepada pemilih, serta memperkuat daya tarik calon.
Pengaruh Abreviasi
Pengabreviasian nama pasangan calon dinilai memiliki pengaruh signifikan terhadap daya tarik calon di mata pemilih. Nama yang singkat dan menarikdianggap akan lebih mudah diingat, sehingga meningkatkan peluang calon untuk diingat oleh pemilih. Dalam era media sosial dan kampanye digital, nama yang singkat juga lebih mudah digunakan dalam tagar (hashtag) dan promosi, memungkinkan calon menjangkau audiens yang lebih luas.
Selain itu, pengabreviasian dapat menciptakan kesan positif. Nama yang terdengar sederhana dan mudah diucapkan dapat membangun citra yang lebih akrab dan ramah. Hal ini berpotensi meningkatkan rasa kedekatan antara calon dan pemilih, serta memudahkan calon dalam membangun komunikasi yang lebih efektif.
Pengabreviasian nama juga mempengaruhi cara pemilih mengidentifikasi dan merespons pasangan calon. Nama yang diabreviasikan dapat memicu asosiasi kuat dengan nilai-nilai tertentu. Jika pasangan calon dikenal dengan nama singkat yang memiliki unsur positif, pemilih mungkin lebih cenderung memberikan dukungan. Sebaliknya, jika nama singkat tersebut mengandung konotasi negatif, hal ini bisa merugikan calon. Dalam konteks politik identitas, pengabreviasian juga dapat menonjolkan karakteristik tertentu dari pasangan calon, memperkuat ikatan emosional antara calon dan pemilih.
Abreviasi Efektif dan Tidak Efektif
Berdasarkan kajian penulis, dalam Pilkada di Jawa Barat, beberapa abreviasi pasangan kandidat dinilai cukup efektif karena memiliki konsonan yang kuat dan vokal yang menonjol. Contohnya, abreviasi HEBAT (Herman-Tatang) memberikan kesan positif dan energik. BERSAMA (Benny-Rachman) menyampaikan pesan kolaboratif, sementara HADE (Ahmad Heryawan-Dede Yusuf) dapat diartikan sebagai "baik" dalam bahasa Sunda. Abreviasi seperti RINDU (Ridwan Kamil-Uu Ruhzanul Ulum) juga memiliki makna emosional yang mendalam dan menarik perhatian.
Di sisi lain, beberapa abreviasi pasangan kandidat lainnya dinilai kurang efektif karena tidak memiliki konsonan yang kuat atau vokal yang menonjol, sehingga sulit diingat oleh pemilih. Contoh abreviasi seperti Ya-He (Yance-Hery Sudjati), SOS (Satori-Ono Surono), dan Qo-De (Nurul Qomar-Dedi Wahidi) memiliki struktur vokal yang sangat ringan dan tidak menyampaikan pesan yang kuat. Demikian juga, abreviasi seperti Yoi (Yoyo Cuhaya-Irman B Kusumah) dan Toya (Soenoto-H. R. Suhendiwijaya) kurang berhasil menarik perhatian pemilih.