Lihat ke Halaman Asli

Kholid Harras

Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Presiden "Tuna Sejarah"

Diperbarui: 15 Agustus 2024   19:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia Zaman Doeloe: Jakarta tempo doeloe: Paleis te Koningsplein, cikal bakal Istana Merdeka (indonesia-zaman-doeloe.blogspot.com) 

Menjelang HUT ke-79 RI  Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyebut Istana Kepresidenan, baik  di Jakarta dan Bogor yang selama ini ditinggalinya  "berbau kolonial".  Hal itu dikatakan Jokowi dalam pidatonya di hadapan para kepala daerah se-Indonesia di Istana Negara Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur, pada 13 Agustus 2024. Alasan Jokowi menyebut kedua Istana Presiden "berbau kolonial" karena keduanya pernah dihuni oleh para petinggi pemerintah kolonial Belanda.  

Pernyataan Jokowi tersebut kontan memicu diskusi dan kritik dari berbagai kalangan, khususnya sejarawan dan akademisi. Oleh sebagian kalangan Jokowi dianggap memiliki nasionalisme yang  sempit, picik serta ia kurang memahami dan mengpresiasi sejarah bangsanya.

 

Warisan Kolonial atau Simbol Perjuangan?

Sebagai negara yang pernah dijajah Belanda berabad lamanya, sungguh wajar jika Indonesia memiliki banyak bangunan bersejarah yang dipengaruhi oleh arsitektur kolonial. Selain Istana Negara di Jakarta dan Bogor, beberapa contoh bangunan terkenal warisan kolonial  antara lain Lawang Sewu di Semarang, Gedung Sate di Bandung, dan Benteng Rotterdam di Makassar.

Berbagai bangunan warisan Belanda tersebut  benar merupakan warisan kolonial, namun juga mestinya harus juga dibaca dan dipahami sebagai simbol dari perjuangan dan keberhasilan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Mereka telah menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang bangsa ini dalam mendapatkan  kemerdekaan dan kedaulatanya.

Dikutip laman resmi Kementerian Sekretariat Negara misalnya, Istana Negara Jakarta didirikan pada tahun 1796 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten sampai dengan 1804, pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Johannes Sieberg. Istana ini dibangun oleh warga negara Belanda, J.A. van Braam. Ia pribadi juga pada awalnya yang menempatinya. Pada 1816, pemerintah Hindia-Belanda mengambil alih bangunan ini dan digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan serta kediaman para Gubernur Jenderal Belanda. Istana ini pun dijuluki "Hotel Gubernur Jendera".

Sebagai pusat pemerintahan kolonial, Istana Negara Jakarta pada jamanya  menjadi tempat di mana keputusan-keputusan strategis pemerintah kolonial dibuat, termasuk strategi militer Jenderal Hendrik Merkus de Kock dalam memberangus perlawanan Pangeran Diponegoro selama Perang Jawa (1825-1830) dan Tuanku Imam Bonjol dalam Perang Padri di Sumatera Barat.

Namun, setelah Indonesia merdeka, Istana Negara di Jakarta diambil alih oleh pemerintah Indonesia dan diubah fungsinya menjadi Istana Presiden.  Tempat yang dulunya menjadi simbol kekuasaan kolonial dan penindasan, pasca bangsa Indonesia Merdeka,  kemudian istana ini menjadi pusat kekuasaan nasional yang digunakan untuk merancang dan memikirkan kesejahteraan bangsa Indonesia.

Sejak presiden pertama kita Ir. Soekarno hingga Presiden Soesilo Bambang Yudoyono tak pernah terdengar mempermasalahkanya. Jadinya janggal jika Jokowi saat akan mengakhiri tugasnya mempersoalkannya. Kata anak muda, "Selama ini eloe ngapaian aja?". Perubahan fungsi ini mestinya dibaca sebagai simbol keberhasilan bangsa Indonesia dalam mengubah warisan kolonial menjadi alat untuk membangun masa depan yang lebih baik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline