Lihat ke Halaman Asli

Kholid Harras

Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Halalbihalal pun Kini Dikomersialisasi?

Diperbarui: 22 April 2024   16:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tradisi Halal Bi Halal yang Mesti Dipahami - SuaraBaru.id 

Tradisi Halalbihalal  telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Indonesia dan juga masyarakat Islam di kawasan Asia Tenggara pasca Idul Fitri tiba. Walaupun istilahnya diambil dari Bahasa Arab, tapi konstruksi frasa tersebut lebih terkait dengan linguistik Nusantara ketimbang bahasa asalnya. Selain itu tradisi ini tidak akan pernah dijumpai di negara-negara Arab manapun. Quraish Shihab menyebut tradisi Halalbihalal  sebagai hasil pribumisasi ajaran Islam oleh Masyarakat muslim di Asia Tenggara yang kental dengan warisan kearifan lokal.

Kata 'halal' merupakan bentuk  'masdar' (kata verbal/kata benda grundial) dari 'Hal-Yahillu' yang mempunyai banyak arti sesuai dengan konteks kalimatnya, antara lain: penyelesaian problem (kesulitan), meluruskan benang kusut, mencairkan yang beku, atau melepaskan ikatan yang membelenggu. Kata yang terkait dengan kata 'halal' yang sering kita dengar dan sdh menjadi khazanah kosakata bahasa Indonesia antara lain 'tahallul', 'hilal', dan 'halal' dalam konteks hukum syariah yg merujuk kepada "sesuatu yang diperbolehkan". Menurut KBBI  'Halalbihalal' berarti acara maaf-maafan pada hari lebaran yang didalamnya terkandung kegiatan silaturahim.

Konon, tradisi Halalbihalal  pertama kali dirintis oleh Mangkunegara I, lahir 08 April 1725, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Saat itu, untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran dan biaya, setelah shalat Idul Fitri, Pangeran Sambernyawa mengadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana.

Sumber lainnya mengatakan tradisi Halalbihalal lahir bermula pada masa revolusi kemerdekaan, di mana Belanda datang lagi. Saat itu, kondisi Indonesia sangat terancam dan membuat sejumlah tokoh menghubungi Soekarno pada bulan Puasa 1946, agar bersedia di hari raya Idul Fitri yang jatuh pada bulan Agustus menggelar pertemuan dengan mengundang seluruh komponen revolusi. Tujuannya adalah agar lebaran menjadi ajang saling memaafkan dan menerima keragaman dalam bingkai persatuan dan kesatuan bangsa.

Kemudian, Presiden Soekarno menyetujui dan dibuatlah kegiatan Halalbihalal yang dihadiri tokoh dan elemen bangsa sebagai perekat hubungan silaturahmi secara nasional. Sejak saat itu, semakin maraklah tradisi Halal Bi Halal dan tetap dilestarikan oleh masyarakat Indonesia sebagai salah satu media untuk mempererat persaudaraan bagi keluarga, tetangga, rekan kerja dan umat beragama.

Seiring dengan perkembangan zaman, makna dan cara pelaksanaan tradisi Halalbihalal telah mengalami pergeseran. Di era modern ini, tradisi halalbihalal lebih sering dijadikan sebagai ajang networking, baik dalam ranah bisnis, politik, maupun sosial. Banyak acara halal bi halal diadakan oleh perusahaan atau organisasi sebagai ajang untuk mempererat hubungan dengan karyawan, pelanggan, atau mitra bisnis.

Fenomena lainnya, saat ini   di berbagai kota besar mulai merebak model komersialisasi hahalbihalal. Modusnya dengan memanfaatkan "ketokohan" seorang ulama/ustadz, pihak EO bekerjasama dgn hotel sebagai penyedia tempat dan konsumsi hahal bihalal tersebut dengan memungut biaya tertentu kepada mereka yang berminat mengikutinya. Dengan perkataan lain ini adalah model kegiatan Halalbihalal berbayar. Kegiatan model Halalbihalal ini penulis lihat dilakukan di Bandung pada hari Ahad 21 April 2024 kemarin.   

Model kegiatan Halalbihhalal semacam itu tentunya sudah offside dari tujuan mulianya. Halalbihalal seperti itu lebih layak dinamakan arisan. di mana acara tersebut dipatok dengan harga tertentu kepada peserta, merupakan bukti dari penyimpangan dari tujuan mulia tradisi tersebut. Halalbihalal bukanlah sekadar acara bersama atau ajang untuk berbisnis, melainkan wadah untuk memperkuat tali silaturahmi dan mempererat persaudaraan di antara sesama umat manusia.

Dalam menjaga makna sejati dari Halalbihalal, penting bagi kita untuk kembali merenungkan esensi dari tradisi tersebut. Halalbihalal bukanlah sekadar ritual tahunan yang harus dilalui, melainkan panggilan untuk memperkuat persaudaraan, memaafkan, dan merajut kembali hubungan yang mungkin retak. Mari kita jaga tradisi ini dari pengaruh komersialisasi dan kembalikan nilai-nilai luhur yang sebenarnya terkandung di dalamnya, yakni memaafkan, mempererat silaturahmi, dan meningkatkan kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan. ***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline