Hampir setiap tahun, muncul nama-nama orang di negeri kita yang mengklaim dirinya sebagai nabi, dan atau sebagai rasul pembawa ajaran Ilahi palsu. Dalam kajian psikologi, individu semacam ini sering dikenal sebagai narsisisme spiritual.
Salah satu contoh yang mencolok dari fenomena ini adalah Sensen Komara, yang mengubah kalimat syahadat dengan mengganti nama Nabi Muhammad menjadi namanya sendiri sebagai Rasul Allah.
Tindakannya mengubah arah salat, mengklaim dirinya sebagai rasul, bahkan presiden Negara Islam Indonesia (NII), menunjukkan tingkat keangkuhan spiritual yang di luar batas.
Hal yang sama juga dilakukan oleh nabi palsu Ahmad Mushadeq. Sedangkan Lia Eden merupakan salah satu nabi palsu yang paling terkenal sekaligus mengegerkan Indonesia mengaku telah diberi wahyu oleh malaikat Jibril untuk menyampaikan semua yang diajarkan oleh Jibril kepada pengikutnya.
Selanjutnya ada seorang perempuan asal Pekalongan yang menciptakan Alkitab Na'sum setelah mengaku menerima wahyu saat sakit keras, atau Sri Hartati yang memiliki ritual keagamaan yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Penting untuk memahami bahwa fenomena seseorang mengaku sebagai nabi atau rasul ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia, pada berbagai konteks agama dan spiritualitas.
Boleh jadi fenomena semacam itu akan terus muncul di Indonesia karena kita merupakan negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Kemungkinan lainnya karena narsisisme spiritual merasuk dalam keberagamaan yang kuat di Indonesia. Selain itu, akibat kurangnya pemahaman mendalam tentang agama juga menjadi faktor yang memperkuat fenomena ini. Mereka hanya mempelajari agama dan menerapkan praktiknya secara permukaan saja, sehingga mudah untuk dipengaruhi oleh pemikiran yang menyesatkan.
Dalam kasus yang lebih ekstrem, narsisisme spiritual dapat berkembang menjadi aliran atau bahkan pemimpin aliran spiritual. Mereka memanfaatkan klaim-klaim keagamaan untuk mengontrol dan memanipulasi pengikut mereka, dengan menggunakan agama sebagai alat untuk mencapai kepentingan pribadi.
Dengan ciri-ciri yang mirip dengan narsisisme pada umumnya, narsisisme spiritual membawa dampak yang serupa dalam konteks keagamaan. Mereka kurang empati, hanya memikirkan diri sendiri, dan kadang-kadang bahkan merasa seperti Tuhan bagi pengikut mereka. Semua ini membawa risiko bagi masyarakat yang terpengaruh, karena klaim-klaim ini dapat memecah belah komunitas dan merusak prinsip-prinsip keagamaan yang sebenarnya.
Dengan demikian, fenomena orang-orang yang mengaku sebagai nabi di Indonesia tidak hanya menyoroti keberagaman agama yang kaya di negara ini, tetapi juga wajah gelap dari narsisisme spiritual yang dapat mengancam integritas agama-agama tersebut.