Lihat ke Halaman Asli

Kholid Harras

Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Puasa dan Dusta

Diperbarui: 12 Maret 2024   17:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

detik.com

Salah satu tujuan penting ibadah puasa  adalah untuk membentuk karakter muslim yang terbaik, yang dalam Bahasa al-quran disebut Mutaqien. Taqwa sendiri secara singkat dapat didefinisikan merupakan konsep yang mencakup kesalehan, ketakwaan kepada Allah, dan keberpihakan pada kebaikan.

Ada sejumlah indikator insan yang bertakwa dalam Al-Quran. Antara lain mentaati semua perintah Allah dan menjauhi larangan Allah  (QS. An-Nisa: 59); berbicara dengan kata-kata yang baik dan tidak menyakiti orang lain (QS. Al-An'am: 108); mereka yang adil dalam semua urusannya, baik dalam kehidupan pribadi, sosial, maupun hukum (QS. Al-Baqarah: 83), menjauhi perbuatan yang hina, seperti berdusta, ghibah (menggunjing), dan gemar menebar fitnah (QS. Al-Isra: 36).

Dalam bahasa Arab, kedustaan atau berbohong disebut  "al-Kadhib". Prilaku ini sangat dilarang dan dianggap sebagai dosa besar. Kedustaan  bukan hanya merupakan salah satu ciri dari sifat kemunafikan (nifaq), tetapi juga perbuatan kedustaan akan merusak integritas moral individu, serta  berdampak buruk pada keadilan dan hubungan antarmanusia. Saking bahayanya prilaku kedustaan, dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman, "Hendaklah kamu bertakwa kepada Allah dan janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang berdusta." (Q.S. Al-Hajj [22]: 30).

Penyebab seseorang berprilaku bohong sangat kompleks, dan motivasinya bisa bervariasi dari satu individu ke individu lainnya. Dari tinjauan Psikologi beberapa alasan umum mengapa orang berdusta antara lain sebagai upaya menghindari hukuman atau konsekuensi negatif dari kebenaran. Mereka mungkin takut akan reaksi orang lain jika kebenaran terungkap, sehingga memilih untuk berdusta demi melindungi diri.

Berdusta juga dianggap dapat meningkatkan citra diri mereka di mata orang lain. Mereka mungkin merasa perlu untuk terlihat lebih baik atau lebih sukses daripada yang sebenarnya. Terkadang, orang berbohong agar diterima oleh kelompok atau lingkungan tertentu. Mereka mungkin berpikir bahwa dengan berbohong, mereka akan lebih disukai atau diterima oleh orang lain.

Dalam konteks dunia politik kedustaan memiliki dampak yang sangat membahayakan. Politikus yang munafik atau tidak jujur dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik dan pemerintahan. Ini dapat berujung pada ketidakstabilan politik dan memicu korupsi serta penyalahgunaan kekuasaan.

Ibadah puasa di bulan Ramadan jika dilakukan dengan baik dan benar sejatinya akan dapat menjadikan seseorang menjadi lebih jujur dan menjauhi perilaku berbohong. Hal ini karena puasa Ramadan tidak hanya sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga merupakan pelajaran moral dan spiritual yang mendalam.

Beberapa alasan mengapa puasa Ramadan dapat membantu seseorang menjadi lebih jujur dan menjauhi perilaku berbohong. Pertama, Puasa Ramadan mengajarkan kesadaran yang lebih besar akan Allah serta melatih seseorang untuk mengendalikan hawa nafsu dan keinginan diri. Dengan menahan diri dari makan, minum, dan perilaku yang diharamkan selama puasa, seseorang juga dilatih untuk mengendalikan perilaku lainnya, termasuk berbohong.

Kedua, puasa juga mengajarkan pentingnya mengendalikan lidah. Rasulullah Muhammad SAW pernah menyebutkan bahwa salah satu hal yang dapat merusak puasa adalah perkataan yang buruk atau berbohong. Rasulullah bersabda: "Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan atau perbuatan dusta, Allah tidak memerlukannya meninggalkan makanan dan minumannya,".

Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim ini menegaskan bahwa puasa yang benar harus disertai dengan meninggalkan kedustaan. Jika seseorang tetap berbohong atau berperilaku dusta, maka puasanya tidak akan memberikan manfaat yang sebenarnya, yaitu takwa dan kesadaran akan Allah.

Ada sebuah kisah tentang seorang Arab Badui yang datang kepada Rasulullah Muhammad SAW dan menyatakan keinginannya untuk memeluk Islam, tetapi dengan syarat agar dia tidak dibebani dengan berbagai kewajiban ibadah yang berat. Rasulullah SAW kemudian menanyakan kepada Badui tersebut apa yang dia mampu lakukan sebagai syarat masuk Islam. Badui itu menjawab, "Aku hanya mampu menjaga ucapanku agar tidak berbohong." Rasulullah Muhammad SAW pun menerima keislaman Badui tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline