Lihat ke Halaman Asli

Kholid Harras

Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Menakar Efek Desakan Moral-Etik dari Kampus

Diperbarui: 5 Februari 2024   16:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Warga dan alumni Universitas Indonesia (UI) gelar deklarasi kebangsaan di Rotunda UI, Depok, Jumat (2/2/2024). (Foto: KOMPAS.com/DINDA AULIA RAMADHANTY) 

Sejak pekan pertama Februari 2024, sejumlah Perguruan Tinggi terkemuka di Indonesia, seperti UGM, UII, UI, dan Unand, telah menjadi pionir dalam memimpin desakan untuk menegakkan moral-etik dalam kepemimpinan Jokowi sebagai presiden. 

Petisi dan manifesto yang digulirkan oleh sivitas akademika mencerminkan kekhawatiran mendalam atas terjadinya krisis demokrasi yang terus merajalela di tanah air,  khususnya menjelang Pemilu 2024 yang tinggal menunggu hari.

UGM, almamater Presiden Jokowi, mengawali desakan ini pada 31 Januari 2024, yang kemudian diikuti oleh perguruan tinggi prestisius lainnya seperti Unpad, Unhas, dan IPB pada 2 Februari 2024. Rencana aksi serupa juga akan dilakukan oleh UNSRI dan beberapa perguruan tinggi lain pada 5 Februari 2024 besok. 

Desakan-desakan tersebut secara tegas mengecam perilaku dan manuver politik rezim Jokowi yang dianggap melampaui batas hukum dan etika. 

Antara lain penggunaan Mahkamah Konstitusi untuk kepentingan politik pribadi, dugaan nepotisme dalam mendukung pasangan calon tertentu, dan penyalahgunaan kekuasaan birokrasi, keamanan, dan politik bantuan sosial. Semua ini dianggap sebagai strategi pemenangan paslon Capres nomor 2 (Prabowo-Gibran).

Sebagai penjaga etika dan moral, para intelektual perguruan tinggi tersebut menegaskan bahwa tindakan Jokowi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sudah tidak dapat ditolerir lagi. 

Para akademisi mengkritik keras praktik politik yang dianggap kotor dan tidak etis, sambil mengingatkan Presiden akan meluasnya keresahan publik menjelang Pemilu 2024. Seruan moral dan etika bukan hanya bentuk protes, melainkan juga kewajiban para akademisi terhadap masyarakat.

Namun, ada skeptisisme terhadap efektivitas seruan moral ini dalam memobilisasi seluruh lapisan masyarakat, apalagi hingga berpotensi mengarah pada gerakan "people power" di Indonesia. 

Beberapa faktor dapat menjelaskan skeptisisme tersebut, termasuk sejarah politik massa yang dinamis, tingginya politisasi dan politik uang menjelang pemilu, serta tingkat kesadaran politik masyarakat yang bervariasi.

Setakat ini,  presiden Joko Widodo dianggap memberikan respons yang sangat normatif terhadap manifesto dan seruan moral yang disampaikan oleh sivitas akademika  yang datang  secara bergelombang ini. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline