Menjelang Pemilu 2024, pemerintahan Jokowi terus menggelontorkan berbagai jenis bantuan sosial (bansos) sebagai upaya untuk memberikan dukungan kepada masyarakat. Jenis bansos yang diberikan: Program Keluarga Harapan (PKH), yakni bantuan uang tunai dan layanan kesehatan, pendidikan dasar, dan kesejahteraan sosial untuk keluarga sangat miskin (KSM); Bantuan Pangan Nontunai (BPNT), berupa kartu elektronik yang dapat digunakan untuk membeli bahan pangan di warung atau toko kelontong; Bansos Beras 10 Kilogram per bulan untuk keluarga miskin; serta Program Indonesia Pintar (PIP), berupa uang tunai dan layanan pendidikan untuk siswa SD, SMP, dan SMA. Anggaran untuk program-program tersebut menjadi Rp82,3 triliun.
Berbagai bantuan yang merupakan Perlinsos (Perlindungan Sosial) tersebut sejatinya sangat baik, apalagi jika dalam pelaksanaanya sesuai sasaran dan tidak disunat, serta dilakukan pada saat jauh hari sebelum pelaksanaan Pemilu dan Pilpres. Namun karena diduga disengaja pelaksaannya mendekati hari H Pemilu serentak, sejumlah kalangan mengkhawatirkannya. Misalnya, sejumlah ekonom meminta pemberian bantuan sosial bansos dihentikan menjelang Pemilu 2024, karena hal itu akan menjadikan terjadinya Politisasi bansos Pemilu dan Pilpres 2024. Sebab, politisasi bansos disebut akan menguntungkan salah satu paslon, atau ada kabar pasangan lain tidak akan melanjutkan bansos. Mereka menginginkan agar bansos ditunda hingga Pemilu 2024 selesai.
Presiden Jokowi sendiri terlibat dalam pembagian bansos, menciptakan keraguan akan motif di balik aksi tersebut. Aksi blusukan Jokowi ke sejumlah daerah, terutama Jawa Tengah, untuk mengecek penyaluran bansos menjadi sorotan publik. Meskipun pihak Istana membantah bahwa ini terkait dengan pemilu, banyak yang melihatnya sebagai strategi politik menjelang Pemilu 2024. Hal ini semakin diperkuat dengan keterlibatan langsung Presiden dan menteri-menteri dalam tim kampanye pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka yang menggunakan program bansos sebagai alat kampanye.
Meski ada klaim bahwa kunjungan kerja Jokowi ke Jawa Tengah fokus pada peninjauan program perlindungan sosial, skeptisisme muncul karena tidak melibatkan Menteri Sosial Tri Rismaharini, yang seharusnya berurusan dengan praktik bagi-bagi bansos tersebut. Data survei memperlihatkan adanya kaitan erat antara pembagian bansos dengan kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi, menjadikan program ini sebagai faktor krusial dalam mendapatkan dukungan. Sejumlah lembaga survei menunjukkan adanya korelasi antara pemberian bansos dan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi. Menurut data Lembaga Survei Indonesia (LSI), pembagian bantuan kepada masyarakat menjadi indikator utama kepuasan masyarakat terhadap kinerja Jokowi, dengan angka mencapai 30%.
Namun, ada kritik dari internal partai pendukung Jokowi. Politikus senior PDI Perjuangan (PDIP), Aria Bima, menyatakan kebingungannya terhadap peran Jokowi yang seolah ditugasi untuk membagi-bagikan bansos demi mendukung pasangan calon tertentu. Meskipun PDIP masih menyatakan cinta kepada Jokowi, ada kekhawatiran bahwa tugas semacam ini seharusnya dilakukan oleh tim kampanye calon legislatif (caleg) dan bukan oleh presiden. Kontroversi semakin kompleks dengan penegasan Mensos Tri Rismaharini yang tidak terlibat dalam program pembagian bansos oleh Jokowi. Sementara PDIP menyatakan bahwa Risma menolak data Kementerian Sosial dipakai untuk kepentingan politik pribadi, Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia membantah klaim ini.
Bansos di Indonesia telah menjadi instrumen yang sangat diperhatikan, terutama dalam konteks politik menjelang Pemilu. Namun dalam konteks ini, perlu adanya keseimbangan antara upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kepentingan politik menjelang Pemilu 2024. Pengawasan yang ketat dari pihak terkait, termasuk lembaga pengawas pemilu, dapat menjadi langkah yang diperlukan untuk memastikan bahwa bantuan sosial tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik tertentu.
Beberapa pihak menilai bahwa politisasi bansos dapat merugikan proses demokrasi dan menyerukan agar Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) bersikap lebih tegas dalam mengawasi praktik tersebut. Etika dalam konteks pemberian bansos dianggap sebagai hal yang sangat penting untuk diperhatikan demi kelancaran jalannya Pemilu 2024. Bawaslu diharapkan bersikap tegas terkait etika yang dilanggar dalam pembagian bansos. Etika dianggap sebagai hal penting dalam mewujudkan terselenggaranya proses Pemilu dan Pilpres yang adil dan berkualitas.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H