Lihat ke Halaman Asli

Kholda Nur Falahi

Mahasiswa UNILA

Kebijakan Ekonomi Hijau di Indonesia (Masalah Penggunaan Sumber Daya Alam Yang Tidak Berkelanjutan dan Kerusakan Lingkungan)

Diperbarui: 19 Desember 2024   20:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

PENDAHULUAN 

RINGKASAN EKSEKUTIF 

Indonesia menghadapi masalah kerusakan lingkungan akibat pemanfaatan sumber daya alam yang tidak berkelanjutan, seperti deforestasi, polusi, dan kerusakan ekosistem, yang mempengaruhi bencana alam dan kualitas hidup masyarakat. Untuk mengatasinya, diterapkan kebijakan ekonomi hijau yang meliputi pengelolaan hutan berkelanjutan, pajak karbon, peralihan ke energi terbarukan, dan pengembangan infrastruktur hijau. Tujuannya adalah mengurangi emisi, menciptakan lapangan kerja ramah lingkungan, dan melindungi ekosistem, meskipun terdapat tantangan seperti biaya tinggi dan koordinasi antar sektor.

LATAR BELAKANG 

Ekonomi hijau atau green economy merujuk pada kegiatan manusia yang menghasilkan emisi karbon rendah dengan memanfaatkan sumber daya secara lebih efisien dan inklusif secara sosial. Dalam ekonomi hijau, penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat didorong oleh investasi dari pemerintah dan swasta dalam sektor produktif, pengembangan infrastruktur, serta aset yang dapat mengurangi emisi karbon (CO2) dan polusi, meningkatkan efisiensi energi dan sumber daya, serta mencegah hilangnya keanekaragaman hayati dan kerusakan ekosistem. Di Indonesia, ekonomi hijau merupakan pendekatan baru yang menekankan efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan, sambil menjaga kelestarian lingkungan. Terkait dengan penerapan ekonomi hijau, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan jelas menyampaikan komitmen pemerintah Indonesia untuk mewujudkan pembangunan ekonomi hijau, yang telah dikemukakan dalam berbagai konferensi nasional dan internasional. SBY juga menargetkan agar ekonomi hijau dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi setidaknya 7%, sementara emisi CO2 diharapkan dapat berkurang 26% pada tahun 2020 tanpa pendanaan eksternal, dan 40% dengan dukungan pemerintah. Namun, menurut Basah Hernowo, Direktur Kehutanan dan Konservasi Perairan Kemenneg PPN/Bappenas, terdapat berbagai kendala dalam penerapan ekonomi hijau, seperti keterbatasan akses keuangan, permodalan, dan teknologi hijau untuk pengembangan sumber daya manusia yang berfokus pada keberlanjutan. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan ekonomi hijau di Indonesia masih membutuhkan berbagai pendekatan yang melibatkan lingkungan serta pengembangan sumber daya manusia. Tidak hanya mengandalkan metode lama, ekonomi hijau juga memerlukan pendekatan baru seperti kolaborasi multi-stakeholder untuk menghargai modal alam yang ada di hutan dan memastikan bahwa hutan memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Penelitian ini akan mengevaluasi implementasi ekonomi hijau di Indonesia.

ISI

ANALISIS KASUS 

Pada pertemuan tingkat tinggi mengenai perubahan iklim (COP-26, United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) yang diadakan di Glasgow, Inggris, pada Oktober-November 2021, salah satu kesimpulan utama adalah pentingnya menghentikan pemanasan global. Sebagai tindak lanjut dari pertemuan tersebut, Indonesia diharuskan untuk memastikan transformasi pembangunan yang menghasilkan produk ramah lingkungan, termasuk dengan menerapkan pembangunan rendah karbon. Maka dari itu, pemerintah membuat kebijakan Ekonomi Hijau atau Green Economy. Peningkatan pesat ekonomi berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Masalah lingkungan yang muncul saat ini mendorong perlunya penerapan kebijakan ekonomi hijau sebagai solusi manajerial yang paling mendesak dan efektif untuk mengatasi isu tersebut. Indonesia aktif melakukan upaya mitigasi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) untuk mencegah peningkatan emisi GRK, yang tercantum dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia. NDC yang telah diperbarui disampaikan kepada UNFCCC pada Juli 2021. Indonesia juga memiliki peta jalan menuju netral karbon pada tahun 2060 (atau lebih cepat) melalui strategi jangka panjang untuk rendah karbon dan ketahanan iklim, yaitu "Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050)". Perjanjian Paris telah diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention On Climate Change. Indonesia merupakan salah satu negara yang akan mengalami dampak perubahan iklim yang signifikan, terutama dalam sektor ekonomi. Oleh karena itu, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebesar 29% pada tahun 2030. Berdasarkan data 2019, sektor energi menjadi penyumbang utama emisi gas rumah kaca, dengan kontribusi sebesar 45,7%, diikuti oleh sektor listrik yang menyumbang 35%, serta sektor transportasi dan industri yang masing-masing berkontribusi sebesar 27%. Untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 6%-7% dalam rangka mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045, Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan ekonomi konvensional (brown economy), tetapi juga harus mulai mengembangkan ekonomi sirkular, ekonomi hijau, dan ekonomi biru. Proses transformasi menuju ekonomi hijau yang berkelanjutan harus menjaga keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan, serta sejalan dengan SDGs, Perjanjian Paris, Visi Indonesia Emas 2045, dan dapat mencapai target Net Zero Emissions (NZE) pada 2060. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan bahwa penerapan ekonomi hijau dalam jangka panjang diperkirakan dapat menstabilkan pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 6,22% hingga 2045, mengurangi emisi sebesar 86 juta ton CO2- ekuivalen, dan menciptakan hingga 4,4 juta lapangan kerja, seperti yang disampaikan dalam pembukaan Green Economy Expo 2024 di Jakarta, dengan tema "Advancing Technology, Innovation, and Circularity" pada Rabu (3/07/2024). Selain kebijakan yang menanggapi perubahan iklim, Indonesia juga memiliki kebijakan terkait sumber daya manusia yang diharapkan dapat mendukung kontribusi negara dalam pembangunan berkelanjutan, pembangunan rendah karbon, dan pencapaian target net zero emission pada tahun 2060. Kebijakan ini mencakup sektor-sektor yang tercatat dalam NDC, seperti emisi dari energi, limbah, industri pengolahan (industrial processing and product use/IPPU), pertanian, dan kehutanan. Peta jalan untuk sektor energi mencakup upaya yang diperlukan dalam sisi permintaan untuk mendukung transisi energi, seperti penggunaan kompor listrik, lampu LED, dan gas kota (Investor, 2021). Kebijakan ekonomi hijau di Indonesia membawa dampak positif, seperti peningkatan kesehatan masyarakat melalui pengurangan polusi, penciptaan lapangan kerja baru di sektor energi terbarukan dan pengelolaan limbah, pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, peningkatan resiliensi terhadap perubahan iklim, peningkatan investasi hijau, dan tumbuhnya kesadaran lingkungan. Namun, kebijakan ini juga memiliki dampak negatif, seperti biaya implementasi yang tinggi, potensi hilangnya lapangan kerja di sektor berbasis bahan bakar fosil, beban ekonomi bagi masyarakat rentan akibat pajak karbon, ketergantungan pada teknologi impor, dan tantangan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang tepat untuk memaksimalkan manfaat sambil meminimalkan dampak negatifnya. 

SOLUSI DAN REKOMENDASI

Solusi dan rekomendasi untuk kebijakan ekonomi hijau di Indonesia dalam ekonomi sektor publik meliputi beberapa langkah penting untuk mendorong pembangunan berkelanjutan. Pemerintah perlu memberikan lebih banyak dukungan kepada sektor swasta dengan menyediakan insentif fiskal dan pembiayaan hijau guna mendorong investasi pada teknologi ramah lingkungan dan energi terbarukan. Lalu, perlu dilakukan perbaikan pada regulasi dan kebijakan yang ada, seperti penerapan standar lingkungan yang lebih ketat dan mempercepat transisi menuju ekonomi sirkular dan rendah karbon. Ketiga, peningkatan edukasi dan pelatihan bagi sumber daya manusia di sektor publik dan swasta sangat penting agar mereka lebih siap menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang dari ekonomi hijau. Dan terakhir, kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil harus diperkuat untuk merancang dan melaksanakan kebijakan yang mendukung pencapaian target Net Zero Emissions (NZE) pada 2060, menggunakan pendekatan multi-stakeholder. 

PENUTUP 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline