Lihat ke Halaman Asli

“Aku” di Jalan Sunyi Kota Mati

Diperbarui: 21 Oktober 2015   19:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Sebelum memasuki pembahasan, Sebaiknya kita membaca salah satu cerpen pilihan kompas tahun2014 berikut ini.

 

Jalan Sunyi Kota Mati

Cerpen Radhar Panca Dahana (Kompas, 23 Maret 2014)

 

KOTA adalah tempat bagi semua yang pergi. Seperti hari itu. Ashar sudah lama lewat dan halte yang kudekati dijejali orang-orang yang tak kukenali. Kutatap mereka satu-satu, seolah saudara dekat yang besok tak kutemui lagi. Tapi, mengapa semua berubah hanya dalam satu kedipan mata. Seperti tak ada yang berdiam dalam waktu. Tiap kedip seakan membuat hidup yang berbeda. Tak seperti got di sisi semua jalan, manusia di kota tak pernah berhenti. Bahkan di halte. Halte ini bernyawa. Lalu mati. Bernyawa lagi. Mati lagi…

Aku memejam mata, berusaha tak peduli. Bersandar di tiang besi, mengeja yang nyata dengan alifbata terbata. Mengejan kata dengan huruf tak terbaca. Detik bersiur tanpa angka. Suara-suara berdesak tanpa makna. Aku menghirup udara sehabis hujan, memrosesnya menjadi air di tenggorokanku. Tapi kota tak membutuhkan waktu. Ia memperalat atau mungkin membunuhnya.

Tetes gerimis masih jatuh dalam rombongan-rombongan kecil, seperti tertib peziarah di petilasan, ketika seorang tua yang sudah pensiun cukup lama menyeberang dengan tangan kanan membawa bungkusan. Tiga karyawan sebuah perusahaan bercakap di sisi kiriku seperti tiga radio. Yang seorang menatap tekun LCD smartphone, lainnya mengamati seksama iklan di dinding halte, dan seorang lainnya seperti tukang obral yang rajin mengelilingkan matanya.

Beberapa klakson terdengar, kakek pensiunan sudah menyeberangi sepertiga jalan, saat sebuah motor yang masih baru cicilannya meliuk dengan gerengan mesin yang telah diubah. Satu suara memekik dari dalam sebuah angkot. Lalu suara keras mengejutkan, benturan menyakitkan benda-benda keras dan lunak. Sejenak semua suara hilang, kepala-kepala berpaling, mata terdiam, hati tercekat: motor cicilan baru itu terseruduk angkot yang sedang keras menyalip. Tubuh pengendara motor terbang seperti potongan kertas koran, bodi motor meluncur deras berderit di aspal dengan laju 30 km/jam, dan menghantam satu tubuh yang rapuh. Kakek pensiunan memejam matanya pasrah ketika pengendara motor berdebam di aspal basah yang ia warnai dengan darah kental dari kepalanya. Ban mobil sebuah sedan setengah milyar perak telah melindas kepala itu, lengkap dengan helmnya.

Siang mulai rubuh, ketika waktu yang pucat terpaku dipecah teriakan, seruan, jeritan dan gerak cepat beberapa orang menuju titik-titik kejadian. Dengan refleks wajar, aku melaju ke arah tubuh tua pensiunan. Dia jatuh, lemas, tapi tanpa luka. Kubopong ia ke tepi, memberinya air putih yang dibawa dalam bungkusannya dan kembali pada seorang ibu yang dengan tubuh rapuhnya menampung luncuran bodi motor tadi. Aku coba mengangkatnya, tapi membuat tasnya terjatuh dengan isi berserak yang memerlihatkan plastik obat dan sebuah tester penanda kehamilan. Aku memandang wajah wanita yang bertele di lengan kananku. Matanya rapat terpejam bagai kuburan.

Tetes gerimis terakhir jatuh sendiri di ujung mataku yang sepi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline