Sistem Informasi: Kunci Keberlanjutan Tempat Kerja Virtual
Peralihan ke tempat kerja jarak jauh telah mengalami akselerasi drastis selama beberapa tahun terakhir, terutama akibat pandemi COVID-19. Sebelumnya, tren digitalisasi secara perlahan sudah mulai mendorong pergeseran ini, namun pandemi membuat banyak organisasi tidak punya pilihan selain beralih ke kerja jarak jauh hampir dalam semalam. Sebagai hasilnya, jumlah pekerja jarak jauh di berbagai wilayah, seperti di Uni Eropa, meningkat lebih dari dua kali lipat selama 2020 (Eurostat, 2021).
Meskipun fleksibilitas yang ditawarkan oleh kerja jarak jauh sangat menarik, terutama dalam hal pengaturan waktu dan tempat kerja, penelitian yang dirangkum oleh Asatiani dan Norstrm (2023) mengungkap bahwa keberlanjutan tempat kerja jarak jauh bukanlah hal yang sederhana.
Studi mereka yang mencakup 187 artikel dari berbagai disiplin ilmu menunjukkan bahwa ada tantangan mendasar yang harus diatasi, seperti masalah kesejahteraan pekerja, batasan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, hingga tantangan dalam interaksi sosial dan kepemimpinan di lingkungan kerja virtual.
Selain itu, penelitian ini menyoroti bahwa tantangan tersebut tidak dapat dipandang dari perspektif tunggal. Sebagai contoh, meskipun banyak pekerja menyambut baik fleksibilitas kerja jarak jauh, hal ini sering kali menyebabkan masalah burnout dan keterasingan profesional akibat kurangnya interaksi langsung dengan rekan kerja.
Di sisi lain, organisasi masih belum sepenuhnya siap untuk menangani isu-isu yang timbul dari perubahan ini, seperti teknostres, manajemen beban kerja, serta cara untuk menjaga kesehatan mental pekerja jarak jauh. Hal ini menunjukkan bahwa, untuk mencapai keberlanjutan dalam jangka panjang, kerja jarak jauh memerlukan pendekatan multidimensional yang mempertimbangkan aspek teknologi, sosial, dan kesehatan pekerja.
***
Salah satu tantangan utama yang diidentifikasi dalam kerja jarak jauh adalah keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Meskipun fleksibilitas adalah daya tarik utama kerja jarak jauh, penelitian oleh Asatiani dan Norstrm (2023) menunjukkan bahwa 40% pekerja yang bekerja dari rumah mengalami kesulitan memisahkan waktu kerja dan waktu pribadi.
Hal ini sering kali mengarah pada fenomena yang disebut "blurring boundaries" atau kaburnya batasan antara pekerjaan dan kehidupan, di mana pekerja merasa harus terus tersedia untuk pekerjaan, bahkan di luar jam kerja normal. Akibatnya, banyak pekerja mengalami burnout dan stres berlebih. Sebuah studi tahun 2017 oleh Eddleston dan Mulki menemukan bahwa pekerja jarak jauh cenderung bekerja 10% lebih banyak dibandingkan mereka yang bekerja di kantor, yang memperburuk situasi ini.
Selain itu, masalah teknostres juga menjadi isu signifikan dalam konteks kerja jarak jauh. Teknologi yang seharusnya mempermudah komunikasi dan kolaborasi sering kali malah menjadi sumber tekanan baru. Marsh et al. (2022) melaporkan bahwa pekerja jarak jauh menghadapi aliran informasi yang terus menerus melalui platform komunikasi digital, seperti email atau aplikasi pesan instan, yang menyebabkan perasaan lelah mental dan tertekan. Teknologi, meskipun memungkinkan pekerja untuk tetap terhubung, juga menciptakan tantangan baru terkait manajemen beban informasi dan harapan untuk selalu responsif.
Namun, di sisi lain, kerja jarak jauh juga menawarkan peluang besar, terutama dalam hal peningkatan kesejahteraan dan produktivitas pekerja ketika dikelola dengan baik. Sebuah survei yang dilakukan oleh Gallup pada tahun 2017 menemukan bahwa pekerja jarak jauh yang memiliki kontrol lebih besar terhadap lingkungan dan jadwal kerja mereka melaporkan tingkat kepuasan kerja yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang bekerja di kantor. Hal ini menunjukkan bahwa, dengan desain kerja yang tepat, kerja jarak jauh dapat membantu meningkatkan kesejahteraan psikologis dan fisik pekerja.