Menjelang pemilihan presiden lalu, tepatnya saat hari tenang, sebuah film dokumenter dari Watchdoc pun dirilis. Film tersebut membuat publik akademis khususnya kalangan mahasiswa gempar. Pasalnya, film tersebut mengisahkan pertambangan batubara yang ternyata pemilik dari beberapa tambang batubara di Indonesia berasal dari 2 kubu yang akan bertarung di pilpres. Walaupun menolak disebut penggiringan opini agar golput, tetapi menurut hemat saya perilisan film saat masa tenang sarat kepentingan.
Sexy killer mengambil sudut pandang masyarakat yang merasakan secara langsung dampak lingkungan dari proses pembangkitan listrik. Mulai dari penambangan batubara yang menyisakan lobang menganga di Kalimantan, proses pengangkutan batubara dengan kapal tongkang yang mengganggu ekosistem di Karimun Jawa, hingga keberadaan PLTU yang dinilai merugikan masyarakat.
Berbagai komentar dan reaksi pun muncul. Banyak orang yang kemudian ikut berkomentar, dari latar belakang apapun. Tanggapan paling ekstrem adalah hentikan penambangan batubara atau hentikan penggunaan PLTU sebagai pembangkit listrik. Kebanyakan solusinya pun mengarah pada penggunaan renewable energy dalam skala yang besar.
Renewable energy memang lebih bersahabat dengan lingkungan bila dibandingkan PLTU Batubara. Bahkan penggunaannya pun perlu ditingkatkan. Tetapi dari aspek teknis, penggunaan untuk pembangkit listrik dalam skala masif masih sulit diterapkan. Solusi mengganti PLTU Batubara dengan pembangkit EBT (Energi Baru Terbarukan) belum tepat dilakukan saat ini. Mungkin kondisinya akan berbeda 5-10 tahun mendatang.
Dalam target bauran energi 2018-2025 dari Dewan Energi Nasional, batubara masih menjadi sumber utama dalam pembangkitan listrik dengan prosentase sebesar 54%. Salah satu faktor yang menjadi pertimbangan adalah sisi ekonomis. Harga listrik yang dibangkitkan oleh pembangkit batubara adalah sekitar Rp. 1000/Kwh, bandingkan dengan harga listrik dari pembangkit EBT, missal PLTS yang berada pada kisaran Rp. 4000/Kwh. Dengan perbedaan yang sangat jauh tersebut, bayangkan saja berapa TDL yang harus dibayarkan masyarakat jika semua pembangkit batubara diganti.
Ketergantungan masyarakat dalam menggunakan listrik sangatlah tinggi. Bahkan menurut saya, kebutuhan akan listrik sudah menjadi kebutuhan dasar manusia, disamping sandang, pangan dan papan. Hampir semua peralatan yang menunjang kehidupan manusia menggunakan listrik. Bisa dipastikan kondisi ketika listrik mati sehari saja. Berapa banyak protes yang dilemparkan ke PLN, baik melalui pengaduan langsung maupun lewat media sosial.
Oleh karena itu, salah satu kriteria dalam sistem kelistrikan adalah reliability (keandalan). Untuk menunjang hal tersebut, tentulah dibutuhkan pembangkit dengan tingkat keandalan yang tinggi. Satu hal yang belum bisa dipenuhi oleh pembangkit renewable energy. Pembangkit renewable mempunyai satu sifat yaitu intermitensi atau ketidakpastian. Pembangkit jenis ini sangat mengandalkan kondisi alam. Misal saja PLTS yang tidak bisa beroperasi ketika mendung maupun hujan. Padahal ada beberapa sistem kelistrikan yang sama sekali tidak boleh mati mengingat urgensinya. Beban itu biasa disebut beban dasar (base load). Karena presentase yang cukup besar dalam sistem kelistrikan kita, beban harus disuplai oleh pembangkit dengan kapasitas besar dan keandalan yang tinggi. PLTU adalah solusi yang selama ini digunakan.
Mendorong penggunaan EBT untuk ditingkatkan tentu hal yang bagus. Karena saya pribadi pun setuju akan itu. Tetapi, kondisi saat ini belum memungkinkan. Salah satunya adalah teknologi pembangkitan listrik menggunakan renewable energy yang masih perlu dikembangkan. Maka, solusi bijak dari kerusakan lingkungan akibat batubara harus dimulai dari diri sendiri, hematlah dalam menggunakan listrik. Sembari mengembangkan teknologi renewable energy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H