Kata hoaks mungkin sudah tidak asing lagi di telinga bangsa Indonesia. Apalagi akhir-akhir ini, dimana tensi persaingan menuju pemilu semakin meningkat. Hoaks hampir jadi makanan sehari-hari kita. Berita-berita bohong yang menjatuhkan baik paslon 01 maupun 02 bertebaran dimana-mana. Persebaran paling cepat ya lewat mana lagi kalau bukan grup WA. Biasanya tanpa mempertimbangkan kebenaran berita, pengguna WA dengan gampangnya meneruskan satu berita dari grup ke grup lainnya. Begitulah awal mula tersebarnya hoaks secara massif. Walaupun kaum emak-emak yang mendominasi menyebarnya berita hoaks, tapi tidak menutup kemungkinan juga golongan muda pun ikut menjadi perantara.
Kalau mau dikaji lebih dalam, sebenarnya bukan juga 100% salah berita hoaks. Walaupun jelas-jelas pembuat hoaks bisa diadukan secara hukum. Tetapi budaya masyarakat kita yang seakan mendukung penyebaran hoaks tersebut. Seberapa sering sih kita baca sebuah berita atau artikel secara utuh? Apakah kita selalu melakukan cek terhadap validitas berita dan sumber berita? Mungkin sebagian besar akan menjawab tidak. Jika dua hal tersebut dilakukan, tentu berita-berita hoaks yang memang sengaja diciptakan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab tersebut tidak akan laku.
Kebiasaan membaca judul berita tanpa melihat secara keseluruhan isinya merupakan satu kesalahan fatal yang sering dimanfaatkan beberapa media. Hingga akhirnya diciptakan judul yang wow dan fantastis. Jelas saja kebanyakan judul tersebut sama sekali nggak nyambung dengan isi berita. Tetapi kebanyakan masyarakat sudah membuat kesimpulan isi berita padahal baru membaca judulnya saja.
Hoaks juga berkembang pesat karena masyarakat kita seringkali tidak melakukan crosscheck terhadap validitas sumber berita. Asal beritanya bisa membuat heboh langsung saja share. Padahal jika diperhatikan lebih jauh, biasanya berita-berita hoaks yang tendensius itu berasal dari blog atau sumber lain yang tidak jelas asal usulnya. Anehnya lagi banyak yang langsung percaya begitu saja. Mereka menganggap berita dari internet yang asalnya dari sumber antah berantah itu sama validnya dengan berita dari media mainstream.
Dua hal tersebut sebenarnya berasal dari satu masalah yang sama. Tingkat literasi bangsa kita yang masih tergolong rendah. Bangsa kita bukan bangsa yang senang mengonsumsi buku. The World Most Literate Nation Study menempatkan bangsa Indonesia di peringkat 60 dari 61 negara. Begitu juga dengan statistic UNESCO, dari 61 negara, Indonesia menduduki peringkat 60 dengan literasi rendah.
Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut. Salah satunya adalah belum ditanamkannya kebiasaan membaca sejak dini. Padahal role model anak biasanya adalah orangtua. Sementara orangtua sekarang lebih asik memainkan smartphone daripada membaca buku. Kebiasaan itu yang akan dicontoh anak-anaknya kelak.
Keluarga terutama orangtua sebenarnya memegang peran penting untuk menangkis merebaknya hoaks. Salah satunya adalah dengan mengajarkan anak membaca buku sejak dini. Serta menanamkan kebiasaan membaca. Karena tingkat literasi rendah disebabkan kurang membaca, dan hoaks laris karena rendahnya tingkat literasi bangsa kita. (Bib)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H