Lihat ke Halaman Asli

Septian Rizky Khoir

Pemimpin Masa Depan

Calon Tunggal Mendorong Demokrasi Subtantif atau Membunuh Demokrasi

Diperbarui: 7 Desember 2020   21:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Septian Rizky Khoir

Proses demokrasi bertujuan untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur dengan konsep agar setiap element masyarakat dapat terwakilkan aspirasinya. Demokrasi harus mampu menciptakan kedaulatan negara kepada rakyat yang bertujuan menciptakan pemerintahan yang legal dan di kehendaki oleh rakyatnya.

Seiring dengan hal diatas, demokrasi di Indonesia terus mengalami perkembangan selama beberapa pelaksanaan pemilu. Besar harapan bahwa ini saatnya meningkatkan kualitas demokrasi dari yang hari ini hanya sebatas proses prosedural yakni untuk mengatur siapa yang terpilih mewakili rakyat menjadi lebih demokrasi substantif, yaitu demokrasi yang memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh anggota masyarakat dari selurluh golongan, untuk menempatkan kepentingan maupun kebutuhan mereka sebagai bagian dari agenda politik resmi di Indonesia.

Indonesia kini telah mantap berada di jalur konsolidasi demokrasi. Tantangan terbesar menuju demokrasi yang bermutu tinggi adalah masalah pembagian sumber daya politik yang timpang. Secara ideal, mestinya setiap warga negara memiliki kemampuan yang sama untuk menentukan kebijakan-kebijakan penting yang diambil negara.

Demokrasi tidak hanya sekedar proses pemilihan wakil rakyat semata. Namun, kualitas demokrasi ditentukan relevansinya dengan sila Ke-Empat Pancasila yakni keterwakilan masyarakat bermusyawarah menghasilkan kebijakan yang pro terhadap rakyat. Proses demokratisasi juga harus menjadi sarana  rakyat untuk keterlibatan secara langsung dalam mekanisme penentuan dan pengawalan kebijakan yang akan berdampak pada rakyat itu sendiri. Sehingga rakyat memiliki rasa tanggung jawab atas wakil yang mereka percayakan amanahnya, sehingga rakyat menjadi kritis dan dapat mengawal kinerja Wakil Rakyat yang telah diamanahkan olehnya.

Fenomena Demokrasi pada pilkada tahun ini adalah terjadinya aksi "pemborongan" dukungan partai politik. Sehingga tidak ada ruang bagi calon pemimpin alternatif karena tidak terpenuhi quota dukungan kursi atau suara partai politik sebagai syarat minimal sebagai calon kepala  daerah. Di sisi lain, hadirnya calon Independen (Non Parpol) semakin sulit diharapkan dalam situasi pandemi seperti ini. Selain beratnya syarat minimal dukungan, jalur Independen ini juga memerlukan biaya cukup banyak dalam mengumpulkan dukungan syarat minimal. Apalagi, ruang gerak calon Indpenden untuk mencari dukungan di hadapkan pada situasi sulit di tengah pembatasan sosial akibat pandemi.

Secara idealnya demokrasi yang ditampilkan partai politik harus bertumpu pada kaderisasi dan pencerdasan politik masyarakat. Sikap pragmatis oknum partai politik yang belakangan ini meningkat, sepatutnya jadi perhatian serius bagi kita semua. Penguatan kaderisasi partai politik jadi keniscayaan untuk menghasilkan kompetisi dan melahirkan kepemimpinan dalam menjawab persoalan calon tunggal.

Pemandangan Oligarki mengontrol sampai pada tingkat wilayah daerah demi memuluskan agenda-agenda pribadinya. Demokrasi dalam mata Oligarki bisa dimaksimalkan dengan memuluskan agendanya melalui institusi kepartaian. Gambaran sederhana saja untuk menentukan partai politik yang mengusung dalam mendukung sebuah calon pemimpin di tingkat provinsi, kota, kabupaten harus diputuskan oleh tingkat Pusat.


Ditambah kekhawatiran apabila calon tunggal itu menang dalam kontestasi pilkada, maka terjadi  kemungkinan koalisi gemuk pengusung calon tunggal berpotensi berselingkuh antara eksekutif dan legislatif, maka fungsi pengawasan akan tertahan oleh intruksi partai. Karena Koalisi yang terbangun akan bersikap pragmatis. Berkoalisi tidak lagi atas dasar kesamaan visi misi dan ideologi untuk membangun daerah dan kesejahteraan rakyat daerah, tetapi atas dasar kepentingan bagi-bagi kue, dan hal ini akan berdampak tidak baik bagi pembangunan ekonomi suatu daerah.

Fenomena Calon Tunggal dan Kolom Kosong seakan membelah pilihan rakyat dalam kontestasi demokrasi. Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah berkewajiban melakukan sosialisasi penjelasan kolom kosong secara adil dan berimbang. Pada dasarnya pelaksanaan Pilkada dengan calon tunggal dan kolom kosong perlu disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat pemilih agar mereka mengetahui bahwa mereka masih punya ekspresi dan pilihan politik yang berbeda.

 Kita semua berharap Rakyat sebagai yang berdaulat atas Demokrasi menggunakan hak pilihnya secara benar dan bijak, jangan sampai Uang menjadi tuan dalam proses demokrasi, Kita harus memberikan perlawanan dengan keberanian kolektif. Jangan pernah membiarkan praktik pembajakan demokrasi dan pengebirian suara rakyat merajalela menguasai hajat hidup kita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline