Pada pertengahan 1990-an, gerakan pro-demokrasi di Indonesia mengalami titik balik penting saat krisis moneter mendorong desakan agar Suharto mengundurkan diri. Pengunduran diri Suharto pada 21 Mei 1998 mengakhiri masa kekuasaan Orde Baru yang berlangsung lebih dari tiga dekade, menandai momen krusial dalam sejarah politik Indonesia. Gerakan ini membuka ruang politik yang sebelumnya didominasi oleh undangan penguasa, memungkinkan partisipasi aktif dari lapisan populis dan kelas menengah.
Reaksi terhadap manajemen politik otoriter juga memunculkan gerakan pro-demokrasi yang lebih inklusif dalam melawan otoritarianisme pemerintah. Hal ini menandai perubahan dinamika politik yang tidak dapat diabaikan di Indonesia. Uhlin (1998) mengidentifikasi empat kelompok aktor utama dalam gerakan pro-demokrasi pada masa Orde Baru: kelompok elit pembangkang dan intelektual, LSM senior, aktivis mahasiswa, dan generasi baru LSM pro-demokrasi dan HAM. Hal ini mencerminkan perubahan dramatis dalam dinamika politik yang berakar pada tuntutan masyarakat akan demokrasi yang lebih inklusif.
Pada landasan politik Indonesia terdapat kisah yang kompleks, yang teranyam dari berbagai benang kepentingan, kekuasaan, dan aspirasi masyarakat. Representasi politik menjadi inti dari kerumitan ini, memperlihatkan bagaimana wajah politik negara ini terbentuk dari dinamika yang terus berkembang.
Menyelusuri sejarah politik kewargaan, dari masa-masa perjuangan merebut kemerdekaan hingga perubahan signifikan yang terjadi sejak reformasi, menunjukkan bagaimana representasi politik memiliki peran yang fundamental dalam membentuk arah dan identitas politik negara ini. Artikel ini bertujuan untuk menggali lapisan-lapisan kompleksitas yang melatarbelakangi representasi politik di Indonesia.
Perjalanan menuju demokrasi di Indonesia dimulai sejak masa pergerakan nasional, ketika rakyat pribumi berjuang untuk mendapatkan keterlibatan dalam pemerintahan kolonial. Meskipun dihadapkan pada sistem yang tertutup, tuntutan untuk pemerintahan yang lebih transparan dan mewakili mulai muncul.
Tokoh-tokoh terkemuka pada masa itu, termasuk para pendukung gagasan demokrasi ekonomi, mulai mengungkapkan ide-ide demokrasi. Bahkan Islam, sebagai mayoritas agama, juga terlibat dalam pembicaraan tentang representasi rakyat. Model representasi politik saat itu adalah representasi melalui perantara, yang menandai awal dari klaim ruang politik oleh rakyat.
Terdapat perubahan signifikan dalam representasi politik Indonesia dari masa pergerakan nasional hingga era reformasi. Pada masa pergerakan nasional, model representasi yang terbatas melalui perantara terlihat dalam pemilihan anggota Volksraad yang terbatas dan diatur oleh penguasa kolonial. Meskipun demikian, ada dorongan awal untuk mengklaim ruang politik, menandakan awal perubahan dalam redistribusi politik untuk menghapus pembatasan akses masyarakat dalam urusan publik.
Setelah kemerdekaan, intensitas perdebatan seputar representasi politik semakin meningkat. Tokoh-tokoh seperti Syahrir dan Amir Syarifudin menunjukkan ketidaksetujuan terhadap pembentukan PNI dan kabinet presidensial, menganggapnya sebagai lanjutan dari sistem totaliter yang tidak diinginkan. Mereka mendorong sistem demokrasi parlementer sebagai solusi untuk mencegah otoritarianisme, menekankan perlunya sistem politik yang lebih inklusif dan demokratis. Perubahan ini menandai kebutuhan akan transformasi politik yang substansial demi terciptanya representasi yang lebih mewakili dan adil bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Andriadi (2017) menyatakan bahwa perubahan di dunia politik disebabkan oleh perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Media massa berperan kompleks dalam membentuk representasi politik di mata masyarakat. Mereka tidak hanya mencerminkan realitas politik, tapi juga membentuknya melalui narasi dan framing yang digunakan. Media massa, termasuk media sosial, memungkinkan partisipasi aktif pengguna, memfasilitasi pertukaran informasi dan opini yang cepat, berpotensi memengaruhi keputusan pemilih pada pemilihan umum. Pengaruh media sosial sangat berarti dalam membangun citra politik dan representasi partai. Namun, kesuksesannya bergantung pada keterlibatan pemilih dan apakah isu-isu politik menjadi relevan dan menarik bagi mereka. Pengaruh media massa bergantung pada responsifnya partai politik dan respon masyarakat terhadap pesan yang disampaikan.
Perjalanan representasi politik di Indonesia dari pergerakan nasional hingga era reformasi menunjukkan perubahan signifikan dalam dinamika politik. Pergerakan nasional menandai awal perubahan dalam redistribusi politik untuk menghapus pembatasan akses masyarakat, sementara setelah kemerdekaan, penolakan terhadap pembentukan PNI dan kabinet presidensial mencerminkan kebutuhan akan transformasi politik untuk representasi yang lebih adil bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Media massa mampu membentuk politik melalui narasi dan framing yang digunakan. Namun, suksesnya media massa dalam membangun citra politik dan representasi partai tergantung pada keterlibatan pemilih serta relevansi dan ketertarikan masyarakat terhadap isu-isu politik yang disampaikan. Seharusnya, responsivitas yang lebih baik dari partai politik dan tanggapan yang lebih aktif dari masyarakat diperlukan untuk memanfaatkan potensi pengaruh media massa terhadap representasi politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H