oleh: Khofidotur Rofiah
Ketika berbincang tentang bahasa isyarat maka yang muncul secara otomatis di benak kita adalah komunitas tunarungu (baca: tuli) atau mereka yang mengalami hambatan pendengaran sehingga membutuhkan support mode bahasa visual sebagai pengganti bahasa verbal dalam hal ini adalah bahasa isyarat.
Di Indonesia sendiri riset dan bahasan tentang bahasa manual sangat kontradiktif dan menarik. Contoh yang paling sering kita dengar kaitannya dengan bahasa isyarat yang dipakai oleh teman tuli misalnya adalah BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia) dan SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia).
Lalu bagaimana perbedaan dari keduanya?
Bisindo merupakan bahasa isyarat yang diinisiasi langsung oleh komunitas tuli dengan prinsip simbolis hasil persepsi observasional dari bahasa verbal yang dikonversi menjadi bahasa isyarat. Tentu saja kosa isyarat yang dihasilkan akan sangat bervariasi bergantung kultur dan bahasa masing masing daerah.
Sebaliknya, SIBI mengadopsi American Sign Language (ASL) dengan penggunaan isyarat ejaan jari yang hampir sama persis. Pada tahun 1997, digagas dan difasilitasi oleh Kemdikbud, SIBI dikembangkan dan diterbitkan dalam sebuah Kamus Sistem Bahasa Isyarat dengan beberapa edisi.
Singkatnya, SIBI adalah representasi Bahasa Indonesia lisan yang dikembangkan dalam bentuk isyarat. Struktur dan pola isyarat pada SIBI menyesuaikan dengan struktur Bahasa Indonesia dengan kaidah Bahasa Indonesia baku yang di dalamnya banyak terdapat afiksasi yang juga diisyaratkan.
Hal tersebut dianggap sulit oleh kaum tuli sehingga muncul kampanye untuk lebih memilih Bisindo sebagai identitas Bahasa isyarat untuk komunitas tuli di Indonesia.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah bahasa isyarat hanya diperuntukkan untuk individu dengan hambatan pendengaran saja?
Jawabannya adalah tidak. Bahasa isyarat merupakan bahasa universal yang juga berhak digunakan oleh berbagai komunitas khususnya komunitas dengar dengan karakteristik spesifik (KDKS).