"Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan,yang kedua dilahirkan tapi mati muda dan yang tersial adalah umur tua. Berbahagialah mereka yang mati muda
mahluk kecil... kembalilah dari tiada ke tiada. Berbahagialah dalam ketiadaanmu'' Soe Hok Gie
Bait diatas merupakan penggalan dari puisi dalam buku Catatan Seoorang Demonstran(1983) yang sebelumnya merupakan catatan harian seorang aktivis bernama Soe Hok Gie (1942-1969) seorang yang menjadi simbol pergerakan revolusioner serta perlawanan dari kaum minoritas yang termarjinal-kan. Yang meninggal dalam dekapan puncak Mahameru tepat sehari sebelum perayaan ulang tahunnya sesuai dengan apa yang ditulisnya di usinya yang baru akan menginjak 27 tahun ia mati muda.
Bicara soal kematian memang menjadi topik yang cukup intimidatif, kenapa dibilang intimidatif? karena kita sendiri masilah hidup, tapi dengan merenungi kematian kita sendiri bisa lebih merefleksikan tentang arti dari kehidupan, bahkan lebih jauh lagi kita bisa menjalani hidup dengan baik. Kita haruslah lebih sering berbicara tentang kematian karena ia begitu dekat dengan keseharian.
Berita tentang kematian selalu mengguncang jiwa, misalnya saja disebuah televisi menampilkan seorang bapak yang meninggal ketika tengah mengendarai motor, ia terjatuh sehingga terlindas tronton dengan mayat yang berceceran.
Seorang yang dikenal baik, sholeh dan menjadi tulang punggung keluarga harus tewas dalam kondisi mengenaskan. Untuk sejenak kita tentu pastilah terenyuh waktu terasa berhenti.
Kematian orang lain membuat kita memikirkan kematian kita sendiri. Namun sayangnya, hal tersebut tidaklah berlangsung lama ada banyak kesibukan yang akan kita lakukan, kita selalu larut akan keseharian, kesibukan terhadap pekerjaan, berkumpul dengan keluarga,rekan atau kolega, keberlarutan manusia terhadap keseharian lah yang menjauhkan kita dari perasaan dan renungan akan kematian.
Padahal dengan merenungi kematian kita jadi lebih memaknai hal-hal yang bersifat ontologis mengenai keberadaan manusia di dunia, keterikatan manusia dengan ruang dan waktu hingga kematian itu sendiri, dengan begitu kita akan menjalani hidup dengan lebih baik, lebih berguna dan juga bermanfaat bagi orang lain.
Hampir semua manusia pada satu titik akan mulai dihadapi dengan pertanyaan eksistensialis mengenai keberadaan dirinya, tentang mengapa saya hidup?Bagaimana jika saya tidak pernah lahir? dan bagaimana kehidupan setelah kematian itu?
Tentu hal tersebut sudah dijawab oleh agama-agama yang kita anut, dengan bersandar pada iman pertanyaan -- pertanyaan ontologis sebenarnya dapat terjawab dengan mudah, kehidupan tidak dipandang menjadi sesuatu yang absrud melainkan bermakna.