MODERASI BERAGAMA SEBAGAI IMPLEMENTASI DAN PENGUATAN BHINNEKA TUNGGAL IKA
Oleh: Khoerul Wahyudin
ABSTRAK
Implementasi moderasi beragama begitu penting untuk dibahas, mengingat kemajuan zaman dan teknologi pada saat ini segala informasi bisa diakses melalui media apapun termasuk hal yang berkaitan dengan pemahaman keagamanan dalam memperkuat Bhineka Tunggal Ika dikalangan masyarakat. Sehingga hal tersebut mempermudah akses oknum-oknum tertentu yang berniat untuk mendoktrin pikiran masyarakat menjadi radikalisme yang tidak toleran. Untuk itu perlu adanya program khusus dalam upaya menjaga, melindungi dan memperkuat Bhineka Tunggal Ika pada masyarakat dari ancaman paham tersebut di lingkungan sosial. Oleh karena itu, tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis suatu permasalahan yang menyebabkan terjadinya kelemahan pada moderasi beragama sebagai implementasi dan penguat Bhinneka tunggal Ika.
Kata Kunci: Moderasi beragama, Bhineka Tunggak Ika
A. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk terbanyak beragama, baik beragama Islam, Hindu, Budha, Katholik, Kristen dan lain sebagainya di antara negara-negara yang ada di dunia. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang paling sering disorot, terutama kaitannya dengan moderasi beragama yang mayorias negara Indonesia beraga Islam. Moderasi merupakan inti ajaran Islam. Islam yang moderat adalah ajaran agama yang syarat dengan keberagaman pada seluruh aspek, baik aspek agama, aspek suku, aspek adat, ataupun aspek bangsa (Muhammad Nur Rofik dkk, 2021:231).
Indonesia merupakan negara yang demokrasi, sehingga perbedaan kepentingan dan pandangan sering terjadi. Begitu juga dalam beragama, suatu negara memiliki peran yang begitu penting dalam menjamin ketentraman dan keamanan masyarakat untuk memeluk dan menjalankan ajaran agamanya sesuai dengan apa yang diyakini oleh seorang tersebut. Dalam pandangan Islam, di antara keberagaman agama, ideologi, maupun falsafah yang ada di dunia, agama yang mampu untuk bertahan dalam menyikapi tantangan zaman yaitu agama Islam. Pendapat ini didasarkan pada realitas yang menunjukkan bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yang bersifat universal dan komprehensif. Sifat universal dan komprehensif ini yang saat ini lebih dikenal dengan istilah moderasi.
Fakta dan data dari keragaman agama, etnis, suku, budaya dan lain sebagainya menunjukkan bahwa keragaman ini merupakan mozaik yang memperkaya khazanah kehidupan keagamaan di Indonesia, namun di sisi lain keragaman agama juga mengandung suatu potensi ancaman bagi persatuan Negara Republik Indonesia. Disinilah peran penting masyarakat Indonesi untuk ikut andil dalam mewujudkan kedamaian (Muhammad Nur Rofik dkk, 2021:231).
Untuk itu pemahaman perihal moderasi beragama harus dapat dimaknai secara kontekstual dan holistik bukan lagi tekstual. Maksudnya bahwa bukan memoderatkan Indonesia akan tetapi bagaimana cara kita memahami keberagaman dalam beragama dimana harus moderat dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Sebab Indonesia merupakan negara multikultural yang terdiri dari beragam budaya, suku, dan adat istiadat yang penting untuk dijaga oleh warga negara Indonesia. Persoalan radikalisme keagamaan yang berujung pada konflik tentu sepantasnya tidak terjadi di Indonesia, mengingat negara Indonesia mempunyai semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" atau berbeda-beda tetapi tetap satu jua, semboyan ini lah yang seharusnya penting bagi masyarakat tekankan pada dirinya untuk saling menghargai satu sama lain. Pada permasalahan di atas maka pemakalah akan menjelaskan lebih lanjut tentang moderasi beragama sebagai implementasi dan penguat "Bhinneka Tunggal Ika".
B. Moderasi Beragama
Kata moderasi berasal dari Bahasa Latin moderation, yang berarti kesedangan (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Kata itu juga berarti penguasaan diri dari sikap sangat kelebihan dan kekurangan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terdapat dua pengertian kata moderasi diantaranya yaitu: 1. Pengurangan kekerasan, dan 2. Penghindaran keekstreman. Jika dikataka, "orang itu bersikap moderat", kalimat itu bahwa orang itu bersikap wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrem (Lukman Hakim Saifuddin, 2019: 15).
Dilihat dari pengertian secara umum, moderasi beragama berarti mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, dan watak sebagai ekspresi sikap keagamaan individu atau kelompok tertentu. Perilaku keagamaan yang didasarkan pada nilai-nilai keseimbangan tersebut konsisten dalam mengakui dan memahami individu maupun kelompok lain yang berbeda. Dengan demikian, moderasi beragama memiliki pengertian seimbang dalam memahami ajaran agama, di mana sikap simbang tersebut diekspresikan secara konsisten dalam memegangi prinsip ajaran agamanya dengan mengakui keberadaan pihak lain. Perilaku moderasi beragama menunjukan sika toleran, menghormati atas setiap perbedaan pendapat, menghargai kemajemukan, dan tidak memaksakan kehendak atas nama paham keagamaan dengan cara kekerasan (Kementrian Agama Republik Indonesia, 2019: 6).
Dalam bahasa Arab, istilah moderasi biasa dikenal dengan kata "wasath" atau "wasathiyyah", orangnya disebut "wasith". Kata "wasith" telah menjadi kata serapan dalam bahasa Indonesia yang memiliki tiga makna, yaitu sebagai berikut:
1. Orang yang mengenai pengantara (seperti dalam kegiatan perdagangan dan bisnis, serta lainnya).
2. Orang yang melerai (pendamai) diantara orang yang berkonflik.
3. Sosok pemimpin di tengah berlangsungnya pertandingan.
Dari segi praktiknya, perwujudan sikapan moderat atau mengambil jalan tengah dalam Islam dapat digolongkan menjadi empat bagian, yakni moderat dalam perihal problematika ibadah, akidah, perangai, dan budi pekerti, dan permasalahan pembentukan syariat. Pada dasarnya munculnya radikalisme keagamaan ini juga salah satunya diakibatkan oleh keyakinan yang berbeda dan adanya upaya untuk memenangkan perbedaan perihal pemaknaan kebenaran agama. Misalnya pemaknaan agama yang dianggap berbeda oleh pemeluk agama lain sehingga memunculkan konflik vertikal ataupun horizontal.
Permasalahan seperti ini diduga berasal dari kemajuan pola pikir dan sudut pandang masyarakat tentang perkara agama yang semakin kompleks. Pola pikir tentang keagamaan adalah hal serius yang harus selalu diperhatiakan diperhatikan oleh negara dan masyarakat karena dari pemikiran yang seperti itu menyebabkan kesalahpahaman dalam menangkap sebuah ajaran Islam yang relevan dengan Al-Qur'an dan Hadist. Banyak dari masyarakat pada saat ini yang fanatik terhadap keyakinan model paham agama yang diyakininya. Hal ini lah yang menyebabkan masyarakat memiliki sifat yang intoleran atar paham keagamaan yang lain.
Pada dasarnya pada permasalahan yang timbul di atas moderasi Islam dapat menjadi solusi dalam mengatasi berbagai persoalan keagamaan dan peradaban dunia. Yang menarik adalah muslim moderat mampu menghadapi kelompok radikal dengan cara yang santun dan damai. Terciptanya kerukunan dan perdamaian global diawali dengan sikap moderasi individu. Jatuhnya pilihan kepada moderasi merupakan salah satu upaya menolak tindakan-tindakan tidak manusiawi, karena moderat mengedepankan prinsip kedamaian. Melalui cara ini maka manusia satu dengan lainnya dapat memperlakukan sesamanya secara terhormat, adil, menerima segala jenis perbedaan, serta mampu menciptakan harmonis damai dalam keberagaman (Muhammad Nur Rofik dkk, 2021:233).
Adapun mengenai ciri-ciri tentang wasathiyyah yaitu sebagai berikut:
1. Tawassuth (bersikap tengah), merupakan suatu sikap dan cara pandang yang tidak fanatik pada suatu hal, akan tetapi memposisikan diri di tengah diantara perbedaan dalam ajaran agama yang dianutnya.
2. Tawazun (seimbang), merupakan pemahaman dan pengamalan agama secara seimbang yang meliputi semua aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrowi, tegas dalam menyatakan prinsip yang dapat membedakan antara inhiraf (penyimpangan), dan ikhtilaf (perbedaan) (Zulkipli Lessy dkk, 2022: 142).
3. I'tidal (lurus dan tegas), maksud dari i'tidal disini yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya dan melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban secara proporsional. I'tidal juga merupakan bagian dari penerapan keadilan yang diperintahkan Islam diterangkan oleh Allah supaya dilakukan secara adil, yaitu bersifat tengah-tengah dan seimbang dalam segala aspek kehidupan dengan menunjukkan perilaku ihsan.
4. Tasamuh (toleransi), adalah sikap menghormati dan menghargai keragaman dan perbedaan agama maupun aspek kehidupan yang lainnya (Zulkipli Lessy dkk, 2022: 141).
5. Musawah (egaliter), ialah sikap non-diskriminatif terhadap yang lain karena adanya perbedaan budaya, adat, dan keyakinan seseorang tersebut.
6. Syura (musyawarah), merupakan cara untuk menyelesaikan suatu permasalahan dengan prinsip mencari kesepakatan bersama tanpa mementingkan kepentingan salah satu golongan.
Pada permasalahan di atas membahas tentang isu-isu moderasi beragama yang terkait tentang paham radikalisme keagamaan sudah merasuk ke dalam pikiran siswa yang mereka dapat melalui media dan yang sejenisnya. Media elektronik yang canggih di zaman ini membuat kurangnya rasa keingintahuan akan pembenaran data atau informasi keagamaan yang mereka dapat sehingga menimbulkan kekacauan dalam bertindak.
Moderat beragama di Indonesia sebagai upaya dalam mengantisipasi paham radikal sebab Islam moderat merupakan yang paling cocok bagi Indonesia yang memiliki keragaman budaya, etnis, agama dan lain sebagainya. Munculnya paham radikalisme diungkapkan para tokoh nasional diantaranya Yusuf Kalla, Lukman (kemenag saat itu), Yudi latif dan lainsebagainya. Tokoh-tokoh tersebut mengetahui bahwa Azra tokoh Islam yang tulisannya banyak di muat dan satu isu sentral tulisannya adalah moderasi beragama. Pada kesempatan itu dibahas penyebab terjadinya paham radikal dan ektrimisme di Indonesia, termasuk ancaman paham tersebut di sekolah. Radikalisme dan ektrimisme muncul dikarenakn sebagai berikut: 1) Politik global, adanya invansi negara besar terhadap negara Islam satu penyebab munculnya radikalisme dalam Islam kita mengenal Al-Qaedah dan NIIS (negara Islam di Irak dan Suriah). 2) Kebijakan negara besar. 3) Radikal muncul karena ketidak puasan politik global. 4) Perubahan cara hidup, manusia saat ini hidup di dua dunia yaitu dunia real dan dunia maya yang banyak menyajikan informasi berkonten buruk yang menjelek-jelekkan antara agama satu dengan yang lainnya (Sitti Chadidjah, 2021:118).
Setelah diamati dari permasalah di atas kita sebagai warga negara Indonesia bahwa perlu kita tekankan pada suatu lembaga pendidikan yang bisa saja suatu paham radikalisme, ektrimisme, intoleransi, dan anti kebinekaan ini mungkin telah masuk ke dalam ajaran-ajaran yang ada di lingkungan sekolah melalui sosok guru dalam memandu peserta didik dalam kegiatan pembelajaran, bahan ajar yang diduga mengandung konten intoleransi, kuatnya doktrin dari alumni dalam aktivitas kesiswaan yang dilakukan di sekolah maupun di lauar sekolah dan serta tidak kuatnya kebijakan sosok kepala sekolah dalam mengantisipasi masuknya paham radikalisme ke lingkungan sekolah (Muhammad Nur Rofik dkk, 2021:234).
C. Bhineka Tunggal Ika
Istilah "Bhinneka Tunggal Ika" dipetik dari Kitab Sutasono karya Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Istilah tersebut tercantum dalam bait 5 pupuh 139. Bait ini secara lengkap diantaranya sebagai berikut:
Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wisma,
Bhinneka rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal,
Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Terjemahan:
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal.
Kitab Sutasomo mengajarkan toleransi kehidapan dalam beragama, yang menempatkan agama Hindu dan agama Buddha hidup bersama dengan rukun dan damai. Keduan agama itu hidup beriringan di bawah payung kerajaan, pada jaman pemerintahan raja Hayam Wuruk. Meskipun agama Hindu dan Buddha merupakan dua subtansi yang berbeda, namun perbedaan itu tidak menimbulkan perpecahan, karena kebenaran Hindu dan Buddha bermuara pada hal "satu". Hindu dan Buddha memang berbeda, tetapi sesungguhnya satu jenis, tidak ada perbedaan dalam kebenaran (I Nyoman Pursika, 2009:16).
Istilah "Bhinneka Tunggal Ika" yang semula menunjukan semangat toleransi keagamaan, kemudian diangkat menjadi semboyan bangsa Indonesia. Sebagai semboyan bangsa konteks permasalahannya bukan hanya menyangkut toleransi beragama tetapi jauh lebih luas seperti yang umum disebut dengan istilah suku, ras, agama dan antar golongan. Semboyan ini dilukiskan di bawah lambang negara Indonesia yang dikenal dengan nama Garuda Pancasila. Lambang negara Indonesia lengkap dengan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 1951 tentang Lambang Negara.
Indonesia merupakan negara persatuan yang dikembangkan atas dasar Bhinneka Tunggal Ika, dengan memajukan pergaulan demi kesatuan dan persatuan bangsa. Sehingga Bhinneka Tunggal Ika bukan sekedar slogar belaka tetapi menjadi representasi dan kunci adanya persatuan dan kesatuan di Indonesia. Perbedaan yang begitu banyak di Indonesia telah berlangsung lama dan menjadi hal yang lumrah.
Adanya keragaman ini tidak akan lepas dari munculnya suatu tantangan ditengah kehidupan bermasyarakat. Toleransi dalam menyikapi perbedaan, memaksakan kehendak, memberdebatkan adanya perbedaan, bahkan hingga melakukan sebuah kekerasan yang nantinya akan menimbulkan suatu konflik ditengah masyarakat. Hal-hal semacam ini rentan muncul sebagai akibat dari keragaman yang berbeda-beda. Oleh karena itu Indonesia dalam berbangsa dan bernegara harus mampu menjaga kerukunan, kedamaian dan interaksi yang baik dalam bermasyarakat dengan mewujudkan adanya persatuan dan kesatuan antar warga negara Indonesia.
Maka dari itu Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya sebagai semboyan tetapi memiliki peran yang begitu penting yakni sebagai pemersatu semua perbedaan yang ada di Indonesia. hal tersebut menjadi kunci utama adanya persatuan dan kesatuan di Indonesia. Sujanto mengemukakan bahwa "kesadaran akan adanya kemajemukan adalah awal dari lahirnya Sesanti Bhinneka Tunggal Ika" (Muhammad Fathur Rahman dkk, 2019:12).
D. Kesimpulan
Moderasi beragama berarti mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, dan watak sebagai ekspresi sikap keagamaan individu atau kelompok tertentu. Perilaku keagamaan yang didasarkan pada nilai-nilai keseimbangan tersebut konsisten dalam mengakui dan memahami individu maupun kelompok lain yang berbeda. Dengan demikian, moderasi beragama memiliki pengertian seimbang dalam memahami ajaran agama, di mana sikap simbang tersebut diekspresikan secara konsisten dalam memegangi prinsip ajaran agamanya dengan mengakui keberadaan pihak lain. Perilaku moderasi beragama menunjukan sika toleran, menghormati atas setiap perbedaan pendapat, menghargai kemajemukan, dan tidak memaksakan kehendak atas nama paham keagamaan dengan cara kekerasan.
Adanya moderasi beragama di Indonesia untuk setiap individu seorang dalam mempercayai dan meyakini agama yang diantutnya dan saling menghargai satu dengan yang lainnya. Maka dari itu, setia seseorang tersebut telah moderat beragama makan suatu semboyan yang tercantum pada negara Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika akan semakin melekat pada hatinya sehingga hal tersebut bukan sekedar semboyan tetapi memiliki makna dan aturan hidup bermasyarakat atu sosial.
Daftar Pustaka
Chadidjah, Sitti. Implementasi Nilai-nilai Moderasi Beragama Dalam Pembelajaran PAI. Bandung: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 2021.
Fathur Rahman, Muhammad. Bhinneka Tunggal Ika Sebagai Benteng Terhadap Risiko Keberagaman Bangsa Indonesia. Kudus: Institut Agama Islam Negeri Kudus, 2019.
Kementrian Agama Republik Indonesia. Implementasi Moderasi Beragama Dalam Pendidikan Islam. Jakarta Pusat: Kelompok Kerja Implementasi Beragama Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementrian Agama Republik Indonesi, 2019.
Lessy, Zulkipli. Implementasi Moderasi Beragama Di Lingkungan Sekolah Dasar. Yogyakarta: Pedagogie, 2022.
Nur Rofik, Muhammad. Implementasi Program Beragama yang Dicanangkan Oleh Kementrian Agama Kabupaten Banyumas di Lingkungan Sekolah. Banyumas: Jurnal Pendidikan, 2021.
Pursika, I Nyoman. Kajian Analitik Terhadap Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika". Jln. Udayana Singaraja: Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, 2009.
Saifuddin, Lukman Hakim. Moderasi Beragama. Jakarta Pusat: Kementerian Agama RI, 2019.