OLEH: Khoeri Abdul Muid
Mawar duduk di tepi taman kecil yang menghadap ke taman bunga depan rumahnya. Sinarnya matahari sore memantulkan warna-warni indah dari pelangi yang mulai muncul di langit, seakan menjawab doa yang ia panjatkan setiap hari.
Hari ini adalah hari yang spesial, tetapi ada sebuah ketakutan yang selalu bersemayam dalam hatinya.
Enam tahun lalu, ia dan suaminya, Arief, memulai kehidupan mereka dengan penuh semangat. Arief seorang guru, sedangkan Mawar mengurus rumah dan anak mereka yang masih kecil. Walaupun mereka memiliki impian besar, kenyataan sering kali berbicara lain.
Ada masa ketika Arief harus berjuang keras mencari tambahan penghasilan dengan mengajar privat sambil tetap menjalankan tugasnya sebagai guru. Mawar sendiri sering harus menjual kue buatan tangannya di pasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Meski berjuang, ada rasa cemas yang tak kunjung reda dalam hati Mawar. Kadang ia bertanya pada diri sendiri, "Apakah kita bisa bertahan? Apakah kita akan selalu berjuang seperti ini?"
Suatu malam, ketika mereka sedang makan malam sederhana di ruang keluarga, Mawar menatap suaminya dengan serius. “Mas, kita sudah berusaha semampu kita, tapi kita masih kesulitan memenuhi kebutuhan anak-anak. Apa yang harus kita lakukan?”
Arief memandang Mawar dengan mata yang lelah namun penuh cinta. “Kita akan terus berusaha, sayang. Aku masih bisa mencari pekerjaan tambahan. Semoga ada jalan keluarnya,” jawab Arief sambil berusaha tetap tenang.
Namun, Mawar merasa ada yang hilang dalam jawaban itu. Sebuah rasa frustasi yang terus menghantuinya setiap hari. Perasaan itu semakin menguat ketika ia harus melihat anak-anaknya bermain dengan pakaian sederhana dan melihat tetangga-tetangga mereka memiliki banyak hal yang tak mampu ia berikan pada anak-anaknya.
Seminggu kemudian, ketegangan itu memuncak. Mereka bertengkar untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama. Mawar merasa Arief kurang berusaha, sementara Arief berpikir bahwa Mawar tidak memahami tekanan yang ia alami sebagai tulang punggung keluarga.
"Kenapa kamu selalu memikirkan kekurangan ini? Aku sudah bekerja semampuku, Mawar!" teriak Arief dalam kemarahannya.