OLEH: Khoeri Abdul Muid
"Rin, ayo dong ikut semiloka ini. Pembicaranya Dr. Laila Effendi, loh! Kamu tahu kan, dia pakar psikologi positif yang lagi viral di media sosial?" suara Rara terdengar bersemangat di telepon.
Rini menghela napas. Sejujurnya, hidupnya belakangan ini serasa terjebak dalam labirin. Pekerjaan sebagai copywriter freelance yang tak kenal waktu, tagihan listrik yang mendadak melonjak, dan drama teman serumah yang hobi minjam barang tanpa izin.
Namun, ada satu kata yang menarik perhatiannya. "Positivity." Entah kenapa, kata itu terasa seperti secercah cahaya.
"Baiklah, aku ikut," jawab Rini akhirnya.
Hari itu, aula besar tempat semiloka berlangsung dipenuhi peserta. Banyak yang sudah sibuk berfoto dengan latar belakang spanduk bertuliskan "Positivity: Membangun Hidup yang Lebih Bermakna". Di antara kerumunan, Rini tak sengaja melihat wajah yang familiar.
"Rin? Kamu Rini, kan? Aku Saniwati! Unpaders angkatan 2012!" seru seorang perempuan berambut pendek dengan senyum lebar.
"San! Lama banget nggak ketemu!" Rini langsung memeluk temannya itu. Tak disangka, reuni kecil ini menjadi momen pelepas rindunya pada masa kuliah.
Saat sesi utama dimulai, Dr. Laila Effendi muncul dengan karisma yang luar biasa. Dengan blazer kuning cerah, ia membawa energi yang seolah memenuhi ruangan.
"Teman-teman, hari ini kita tidak akan bicara soal positive thinking. Itu sudah basi," katanya sambil tersenyum. "Kita akan membahas positivity. Ini tentang bagaimana kita mengonstruksi diri sehingga 'masalah' yang kita anggap berat, sebenarnya bisa kita ubah menjadi hal yang netral, bahkan bermakna."