OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di sebuah desa kecil yang damai, terdapat sebuah pesantren yang dikenal dengan nama Pesantren Nurul Hidayah. Di sana, santri-santrinya tidak hanya mempelajari ilmu agama, tetapi juga memupuk akhlak mulia. Salah satunya adalah Zaki, seorang santri muda yang cerdas. Namun, Zaki menyimpan sebuah rahasia kelam---ia telah kehilangan imannya.
Setiap hari, Zaki berpura-pura tenang, namun hatinya dipenuhi dengan keraguan yang menggelora. Ketika di dalam kelas, ia selalu bisa menjawab pertanyaan dengan tepat, tetapi pikirannya terus terbayang-bayang dengan satu pertanyaan besar: "Apakah ini benar? Kenapa saya harus percaya tanpa bukti?"
Suatu pagi, Kyai Abdul Rahman, guru besar mereka, tengah mengajar tentang Bab Iman dan Islam dari Kitab Sulam Taufiq. Zaki duduk di belakang, namun pikirannya semakin kacau. Kata-kata Kyai Abdul Rahman seolah membangkitkan kekesalannya. Kyai itu berbicara tentang iman seperti sesuatu yang mutlak, tanpa ruang untuk pertanyaan.
"Iman adalah percaya tanpa keraguan sedikit pun pada Allah, pada rasul-Nya, pada kitab-Nya, dan pada hari kiamat," kata Kyai Abdul Rahman, suaranya penuh keyakinan. "Iman adalah pondasi yang tak tergoyahkan bagi setiap Muslim."
Tiba-tiba, Zaki bangkit dari duduknya, suaranya menggema di ruang kelas yang hening. "Kyai!" teriaknya, wajahnya merah karena amarah yang tak terkontrol. "Apa Anda benar-benar yakin? Apakah iman itu hanya sekadar kata-kata kosong yang dipaksakan? Kenapa kita harus percaya tanpa bukti nyata?"
Seluruh kelas terdiam. Mata santri lainnya terbelalak, sementara Kyai Abdul Rahman tetap tenang, meski ada sedikit kerut di dahinya. "Zaki, kenapa kau berkata begitu?" tanyanya dengan lembut, meskipun wajahnya menyiratkan keseriusan yang mendalam.
Zaki menatap gurunya dengan tajam, rasa frustasi meluap. "Apakah tidak ada cara lain untuk memahami iman selain dengan menerima begitu saja? Apakah kita tidak berhak bertanya?" suara Zaki semakin keras, nyaris menantang.
Kyai Abdul Rahman tetap tenang. "Iman itu bukan tentang melihat dengan mata, Zaki. Iman itu datang ketika hati kita siap untuk menerima, tanpa perlu memaksakan pemahaman yang terbatas. Apakah kau siap untuk menerima kenyataan bahwa terkadang jawaban terbesar datang dalam bentuk yang tak terduga?"
Zaki merasakan sebuah api membakar dirinya, namun ia memilih untuk tidak menanggapinya. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan keluar dari kelas, meninggalkan suasana yang semakin mencekam.