Lihat ke Halaman Asli

Cahaya di Balik Niat

Diperbarui: 4 Desember 2024   18:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi "Cahaya di Balik Niat". dokpri

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Di sebuah desa kecil yang dikelilingi sawah hijau, tinggal seorang pemuda bernama Amar. Sejak kecil, ia dikenal cerdas dan sering menjadi kebanggaan keluarganya. Sebelum berangkat ke pesantren, kepala desa bahkan memberinya sambutan khusus.
"Amar, kamu akan jadi kebanggaan desa ini. Jangan lupa, kelak ceritakan pada dunia bahwa kami pernah mendukungmu," ujar kepala desa dengan tepuk tangan yang disambut riuh warga.

Dalam hati, Amar membayangkan masa depan yang cerah---nama besarnya akan dikenal, dan desa ini akan berterima kasih padanya.

Setibanya di pesantren, Amar mulai belajar dengan tekun. Tapi, sesuatu selalu mengusiknya. Dalam pikirannya, ia sering membayangkan dirinya berdiri di depan ribuan orang, memberikan ceramah dengan suara lantang, lalu tepuk tangan membahana. "Aku akan jadi ulama terkenal," gumamnya sambil tersenyum sendiri.

Namun, sifat itu membuat Amar sedikit ceroboh. Ia sering lupa memperbaiki niatnya. Ketika gurunya, Kiai Nur, mengajarkan tentang pentingnya keikhlasan, Amar hanya mendengarkan sambil lalu.

Tibalah hari ujian hafalan Al-Qur'an. Amar merasa percaya diri karena ia sudah belajar keras. Saat dipanggil ke depan, ia berjalan dengan penuh keyakinan, senyumnya lebar. Namun, ketika mulai membaca ayat pertama, sesuatu yang ganjil terjadi.
"Lidahku... kenapa rasanya berat?" bisik Amar dalam hati.

Ayat yang biasanya lancar dihafalnya kini terasa kabur. Ia berulang kali mencoba, tetapi kesalahannya terus bertambah. Wajah Amar memerah, tubuhnya gemetar. Suara teman-temannya yang membisikkan hafalan mereka terasa seperti ejekan di telinganya.

Malam itu, Amar duduk sendirian di sudut asrama. Rasa malu menusuk hatinya, seolah bayangan dirinya sebagai ulama terkenal hancur berkeping-keping.

Keesokan harinya, Kiai Nur memanggil Amar untuk berbicara di serambi pesantren. Dengan senyum lembut, beliau bertanya,
"Amar, apakah kau tahu mengapa hafalanmu kacau kemarin?"

Amar menggeleng, meskipun dalam hatinya ia tahu jawaban itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline