Lihat ke Halaman Asli

Urip Iku Mung Mampir Ngombe

Diperbarui: 3 Desember 2024   12:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi. dokpri

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Matahari memancarkan panas teriknya siang itu. Karso, seorang lelaki paruh baya, memikul sekarung singkong dari ladang. Langkahnya berat, tubuhnya basah oleh keringat. Di tengah perjalanan pulang, matanya menangkap sebuah padasan tua di depan rumah yang teduh. Padasan itu tampak seperti oase di tengah perjalanan melelahkan.

"Alhamdulillah, masih ada padasan," gumam Karso sambil menurunkan karungnya. Ia mencuci muka, membasuh tangan, lalu meneguk air dingin dari pancuran. Segarnya air itu seperti menghidupkan kembali semangatnya.

Saat ia sedang menikmati tetes terakhir, suara keras menggelegar dari pintu rumah.
"Heh! Jangan seenaknya minum air di situ!"

Karso menoleh. Seorang lelaki muda, Pram, berdiri di ambang pintu dengan tatapan tajam. Pram adalah anak almarhum Pak Sastro, pemilik rumah itu yang dulu dikenal dermawan.

"Maaf, Nak. Saya kehausan. Dulu, air di padasan ini untuk siapa saja yang lewat," ujar Karso sopan.

Pram melipat tangannya. "Dulu memang begitu. Tapi sekarang, semua harus bayar. Air di sini bukan gratis!"

Karso mengernyit, bingung. Ia melihat papan kecil yang tergantung di samping padasan: "Air Segar, Rp 2.000 per Teguk."

Karso menarik napas dalam, lalu mengeluarkan dua lembar seribuan dari kantong lusuhnya. Dengan hati-hati, ia menyerahkan uang itu. "Ini, Nak. Semoga cukup."

Pram mengambil uang itu tanpa bicara, lalu berbalik masuk ke rumah. Karso menatap padasan itu dengan getir. "Urip iku mung mampir Ngombe. Hidup itu hanya mampir minum," gumamnya, lalu melanjutkan perjalanannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline