Lihat ke Halaman Asli

Semangat di Jembatan Merah

Diperbarui: 2 Desember 2024   15:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi Semangat di Jembatan Merah. dokpri

OLEH: Khoeri Abdul Muid

30 Oktober 1945
Langit senja Surabaya memerah seperti tanda bahaya. Di Jembatan Merah, Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby berdiri dengan wajah penuh keyakinan. Para pejuang Indonesia, dengan bambu runcing di tangan, mengelilinginya seperti lingkaran api yang siap membakar.

"Dengar," kata Mallaby dalam bahasa Indonesia yang terputus-putus, "Kami datang untuk damai. Tidak perlu darah tumpah lagi."

Hasyim, seorang pemimpin milisi, maju selangkah. Matanya menyala tajam. "Damai? Damai apa? Tank-tank yang kau bawa itu untuk damai?"

"Kalian salah paham---"
"Kami paham! Penjajah tidak pernah membawa damai!" bentak Hasyim.

Keheningan tegang menggantung di udara, hanya terganggu oleh suara gesekan sepatu militer di aspal dan napas tertahan para milisi. Lalu, tanpa peringatan, letusan senjata memecah suasana.

"Cepat, mundur!" teriak Hasyim sambil menarik pasukannya. Mallaby roboh, darah merembes di seragamnya. Kekacauan pecah. Teriakan membaur dengan suara tembakan.

Di tengah kekacauan itu, seorang pemuda bernama Rengga mendekati Hasyim. "Apa yang terjadi, Bung? Siapa yang menembak?"
"Bukan waktunya bertanya, Rengga. Kita harus bersiap. Ini baru awal."

09 November 1945
Ultimatum datang seperti petir di siang bolong: Mayjen Robert Mansergh, pengganti Mallaby, menuntut para pejuang menyerah. Jika tidak, Surabaya akan dihancurkan.

Di sebuah rumah kecil, Bung Tomo berdiri di depan para pejuang yang berkumpul. Wajah mereka penuh luka, tapi mata mereka menyala oleh api perlawanan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline