OLEH: Khoeri Abdul Muid
Asap tipis menari di udara, mengepul dari reruntuhan bangunan yang terbakar. Di tengah debu dan darah, aku terduduk lemah, menatap tubuh kecil yang terbaring kaku di pelukanku. Napasnya sudah berhenti. Dunia seakan ikut membeku.
"Kenapa aku tidak bertindak lebih cepat?" tanyaku, mengguncang tubuh itu dengan sia-sia.
Tiga jam sebelumnya, aku berdiri di depan pintu rumah. Di dalam, terdengar tangisan anak-anak dan suara perempuan memohon.
"Tolong, Tuan! Mereka hanya anak-anak!"
Aku mengenali suara itu. Bu Lastri, tetanggaku. Rumahnya adalah tempat anak-anak yatim berlindung. Namun malam itu, para penagih utang datang.
Aku menggenggam gagang pintu. Haruskah aku masuk? Atau aku hanya seorang penonton?
"Bukan urusanku," gumamku, melangkah pergi.
"Kau dengar tadi malam?" tanya Jaka, temanku, pagi itu. "Rumah Bu Lastri dibakar."
Aku tertegun. "Apa? Siapa yang melakukannya?"
Jaka menatapku heran. "Bukankah kau ada di sana? Bukankah kau mendengar? Apa yang kau lakukan?"