Lihat ke Halaman Asli

Bukan Dara, Bukan Jantan

Diperbarui: 26 November 2024   16:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi bukan dara, bukan jantan. dokpri.

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Di sebuah kafe kecil, Sasha duduk di meja pojok dengan rambut ungu menyala dan jaket oversized berwarna hitam. Pandangannya kosong, tapi jari-jarinya mengetuk meja dengan irama yang tak beraturan. Kopi hitam di depannya sudah hampir habis, tapi Sasha belum ingin pergi. Mereka merasa dunia ini terlalu sempit untuk dirinya, tapi juga terlalu besar untuk ditinggalkan.

"Eh, aku mikir, ya," Sasha bicara pelan pada dirinya sendiri, tapi cukup keras hingga pelayan yang lewat menoleh. "Kenapa sih, hidup itu harus sesuai template? Cewek harus feminin, cowok harus maskulin? Hah, omong kosong."

Tak jauh dari Sasha, seorang pria paruh baya dengan wajah dingin mendengar keluhan itu. "Anak muda zaman sekarang," gumamnya sambil menyesap kopinya. "Banyak omong daripada kerja."

Sasha mendengar, tapi pura-pura tak peduli. Alih-alih menjawab, mereka memandang ke luar jendela, di mana langit mulai mendung.

Hingga akhirnya, pintu kafe terbuka, dan masuklah Dara---seseorang dari masa lalu Sasha.

"Sasha," Dara memanggil, suaranya bergetar.

Sasha tertegun. Dara? Kenapa dia muncul sekarang? Setelah bertahun-tahun tak ada kabar, tiba-tiba Dara kembali, seperti hantu dari ingatan yang ingin dilupakan.

"Sudah lama, ya," Dara berkata sambil berjalan mendekat. Ia duduk tanpa izin, tatapannya tak pernah lepas dari Sasha. "Kamu kelihatan... berbeda."

"Dan kamu masih suka nyelonong," Sasha menjawab dingin.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline