OLEH: Khoeri Abdul Muid
Soal nasib. Meski bagai langit- bumi. Ponco dan Silo merupakan teman berkelindan. Teman sinorowedi. Teman securahan hati.
Berlatarbelakang yang lain. Pendidikan Ponco mandeg sampai jenjang SMA. Sementara Silo berkesempatan mengenyam ilmu di IKIP Yogyakarta hingga S-3.
Beruntung mereka bekerja dalam lingkungan yang sama. Silo meskipun masih muda sudah dipercaya menjadi asisten Bupati. Sementara Ponco, pasukan Satpol PP. Sehingga hampir saban hari pasca-bekerja. Ponco dan Silo mengistiqomahkan kebiasaan lama. Kongko-kongko. Ngopi-ngopi. Tapi no smoking.
Sebenarnya, saat di SD, rangking Ponco lebih baik dari Silo. Sehingga meski senjang taraf pendidikannya, tapi Ponco mampu mengimbangi Silo saat bergulat pikir dalam 'guyon maton' mereka.
Ya. Mereka sering berdiskusi soal apa saja. Se-mood mereka.
Asiknya, dua-duanya hoby membaca buku-buku tebal dan menulis di blog "Nitizen_Bersatu".
Kali ini Ponco dan Silo masih getol menelaah jejak Ibrahim dan warisan spiritualnya.
Ponco: "Silo, aku masih bingung. Kenapa sih orang-orang bisa menyembah patung-patung yang jelas nggak punya kuasa? Kayaknya udah jelas banget kalau mereka itu cuma benda mati."
Silo: "Ponco, kamu benar. Patung-patung itu memang tidak bisa berbicara atau bertindak. Tetapi, penyembahan mereka menunjukkan bagaimana orang seringkali mencari sesuatu yang konkret untuk disembah. Padahal Tuhan yang sejati tidak bisa dibatasi oleh bentuk atau simbol apapun. Ibrahim sendiri menantang Raja Namrud dengan logika yang sangat kuat, membuktikan bahwa kekuasaan yang sejati tidak bisa dibandingkan dengan kekuasaan duniawi yang terbatas."