Lihat ke Halaman Asli

Mulut

Diperbarui: 26 November 2024   04:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Pernahkah kamu merasa, bahwa apa yang kamu katakan itu bisa mengubah segalanya? Mengubah hubungan, mengubah keadaan, bahkan mengubah hidupmu? Cipto merasa dirinya adalah manusia yang paling tahu segalanya. Mulutnya tak pernah berhenti berbicara, dan setiap kata yang keluar dari bibirnya selalu terasa "bijak" menurutnya. Hari itu, seperti biasa, Cipto berkumpul dengan teman-temannya di warung kopi, memperlihatkan kehebatannya dalam berbicara.

"Hahaha, lihat deh, kalian ini! Beneran nggak ngerti ya soal ekonomi desa?" Cipto tertawa terbahak-bahak, sambil mengarahkan pandangannya pada teman-teman yang sedang duduk di sekeliling meja. "Coba deh, kalian pikirin, kalau kita mau maju, ya harus ikut yang namanya globalisasi! Kalau nggak, ya keblinger!"

Siti, teman lamanya yang kini memiliki warung makan, hanya tersenyum tipis. "Cipto, kadang kamu ngomong tanpa mikir," kata Siti pelan, tapi penuh arti.

Cipto membuang muka dengan bangga. "Siti, kamu kok masih aja warungnya sepi? Mungkin makananmu yang nggak sesuai zaman, atau harganya kemahalan, ya?" kata Cipto dengan suara keras, yang membuat orang-orang di sekitar terdiam.

Siti terdiam, matanya mulai berkaca-kaca, namun dia memilih diam. "Aku tahu, Cipto. Tapi kamu nggak tahu susahnya menjalani ini semua."

"Ah, ngapain dipikirin?" Cipto balas sambil menyedot kopi. "Gampang kok, tinggal jualan yang lebih modern dikit. Berubah dikit aja udah pasti laku!"

Siti menundukkan kepala, bibirnya mengatup rapat. "Cipto, hati-hati kata-katamu... Suatu saat, kamu akan tahu," jawabnya pelan.

Cipto melengos pergi tanpa mempedulikan perasaan Siti. "Aduh, Siti ini sensitif banget, sih!" gumamnya sambil tertawa, menganggap omongannya biasa saja. Namun, yang tak disadari Cipto adalah, kata-katanya itu seperti jarum yang menusuk dalam-dalam.

Beberapa hari setelah itu, Cipto mendengar kabar buruk. Warung Siti tutup. Bukan hanya itu, ramai orang berbisik bahwa Siti harus merelakan usahanya karena utang yang menumpuk. Cipto sedikit terkejut, tetapi perasaan itu cepat terkubur di bawah rasa percaya dirinya.

Namun, kejadian tak berhenti di situ. Keesokan harinya, Cipto bertemu Pak Rahmat, pemilik toko kelontong yang sudah tua. Pak Rahmat sedang duduk di depan tokonya, tampak lesu. Tanpa ragu, Cipto menyapanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline