Lihat ke Halaman Asli

Piala Retak

Diperbarui: 23 November 2024   01:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi angga. dari Viva.co.id

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Malam itu, hujan turun deras. Angga duduk di sudut kamar sempitnya, menatap sebuah piala retak yang tersimpan di atas meja. Piala itu adalah kenangannya---satu-satunya tanda bahwa ia pernah menjadi juara dalam sebuah lomba lari tingkat nasional, bertahun-tahun yang lalu. Tapi bagi Angga, piala itu juga adalah pengingat luka terbesar dalam hidupnya.

"Pak, aku yakin bisa menang lagi!" kata Angga dengan penuh semangat pada ayahnya suatu hari, di masa lalu yang terasa seperti mimpi.

Ayahnya, seorang buruh tani, tersenyum tipis. "Tapi, Ga, lomba ini butuh biaya. Bapak sudah nggak punya uang untuk daftar dan beli sepatu barumu."

"Bapak percaya aku, kan?" tanya Angga, matanya berbinar. "Kalau aku menang, hadiahnya bisa buat bayar utang kita. Buat bikin hidup kita lebih baik!"

Ayahnya terdiam lama, menatap anaknya yang penuh tekad itu. "Kalau begitu, kita coba. Tapi janji, kalau gagal, kamu harus tetap bersyukur. Urip kuwi ora sampurna, Nak."

Angga mengangguk. Saat itu, keyakinannya tak tergoyahkan.

Hari lomba pun tiba. Dengan sepatu tua yang solnya sudah menipis, Angga melangkah ke garis start. Ia tahu, anak-anak lain memakai sepatu mahal dan mendapat dukungan penuh dari keluarga mereka. Tapi ia tak peduli. Ia berlari dengan segenap kekuatan, membayangkan ayahnya yang bekerja keras di ladang, membayangkan ibunya yang sudah lama sakit-sakitan.

Dan ia menang.

Angga berdiri di podium, memegang piala itu dengan bangga. Orang-orang bersorak, menyebut namanya. Saat ia pulang membawa piala dan hadiah uang, ia merasa seperti pahlawan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline