Lihat ke Halaman Asli

Maaf?

Diperbarui: 22 November 2024   14:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi. Foto: Getty Images/iStockphoto/Vitalii Petrushenko

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Pagi itu, Rina berdiri kaku di depan pintu rumah Arif, merasa udara begitu berat menekan dada. Tangan kirinya gemetar memegang amplop berisi surat permohonan maaf. Ia sudah lama menunggu saat ini, menyiapkan kata-kata yang tepat. Tapi semua terasa sia-sia. Hati Rina bergejolak antara harapan dan ketakutan yang tak bisa dijelaskan. Seperti ada suara yang berbisik, "Ini mungkin langkah terakhir."

"Ada apa, Rina?" Arif membuka pintu dengan wajah yang tak pernah ia kenali lagi. Tidak ada senyum, tidak ada sapaan hangat seperti dulu. Hanya ada dingin dan jurang yang semakin dalam.

Rina memandangnya, ingin sekali mengungkapkan semua, tapi hanya kata-kata yang tercekat di tenggorokan. "Aku... cuma ingin ngomong. Mung njaluk pangapura."

Arif menatap amplop di tangan Rina dengan tatapan kosong. "Jaluk pangapura?" Ia tertawa miris, kemudian melangkah mundur, memberi ruang agar Rina masuk. "Kamu pikir itu cukup, Rina? Kamu pikir kata maaf itu bisa menyembuhkan semuanya?" Suaranya parau, sakit.

Rina mematung. Hanya kata "maaf" yang bisa ia ucapkan, tapi tahu betul bahwa itu tidak akan cukup. Arif sudah terluka terlalu dalam.

"Aku... Aku nggak tahu harus bilang apa, Arif." Rina akhirnya bersuara, suaranya bergetar. "Aku nyesel. Sangat nyesel."

Arif menoleh dengan mata penuh amarah yang sudah lama terkubur. "Nyesel? Setelah semua yang kamu lakukan, Rina? Kamu bilang kamu nyesel? Apakah itu akan mengembalikan segalanya yang sudah hancur?" Ia berjalan menjauh, suaranya berubah menjadi suara yang tak bisa lagi ditahan. "Aku sudah mencoba untuk memahami kamu, Rina. Tapi kamu malah lebih memilih dia. Dia, yang bahkan tidak peduli denganmu, yang hanya menjadikanmu sebagai pelampiasan!"

Setiap kata Arif bagaikan pisau yang menusuk jantung Rina. Kenyataan itu kembali menghantamnya dengan keras. Ia memang telah memilih jalan yang salah, lebih memilih menjaga rahasia daripada kebenaran yang seharusnya ia katakan sejak awal.

"Aku nggak bisa ngubah semuanya, Arif," ujar Rina, mata sudah berkaca-kaca. "Tapi aku nggak bisa terus begini. Aku mencintaimu, aku nggak mau kehilanganmu. Aku salah. Dan aku... nggak tahu kenapa aku bisa sampai segitunya. Aku takut, Arif... takut kalau aku kehilanganmu. Aku bingung waktu itu."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline