Lihat ke Halaman Asli

Nilai A

Diperbarui: 20 November 2024   15:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi. suneducationgroup.com

ilustrasi. suneducationgroup.com

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Di sebuah universitas terkemuka, nilai adalah segalanya. Di sini, angka A adalah lambang kesempurnaan yang jarang dijangkau, B berarti sudah cukup baik, dan C atau D adalah kegagalan yang membawa beban berat.

Di tengah ketatnya standar ini, ada seorang mahasiswa bernama Arman. Selama bertahun-tahun, nilai B menjadi sahabatnya---bukan karena ia tidak berusaha, tetapi karena ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar angka.

"Arman, kenapa kamu selalu dapat B? Bukannya kamu pintar?" tanya Rina, temannya yang selalu mendapatkan nilai A.

Arman tertawa kecil, meskipun sedikit tertekan. "Aku merasa B sudah cukup, Rina. Mungkin aku bukan yang terbaik, tapi aku sudah berusaha maksimal."

Namun, dalam hati Arman, nilai B terasa seperti pengingat bahwa ia belum sempurna, meskipun ia tahu bahwa setiap usaha yang dilakukan telah menghabiskan energi dan waktu yang tak terhitung. Bagi teman-temannya, B adalah nilai yang baik, tetapi bagi Arman, B adalah titik tengah yang selalu mengingatkannya untuk berbuat lebih.

Tahun terakhir kuliah pun tiba. Ujian akhir semester itu adalah ujian yang paling menentukan, yang akan menutup perjalanan panjangnya di bangku kuliah. Arman merasakan kecemasan yang luar biasa. Di hadapan mereka semua, ada satu sosok yang dianggap sebagai simbol ketegasan---Profesor Hadi. Dosen filsafat yang sangat dihormati itu dikenal jarang sekali memberikan nilai A, hanya pada mereka yang dianggap benar-benar sempurna dalam memahami dan mengaplikasikan ilmu.

"Arman, ujian kali ini adalah ujian yang tak mudah," ujar Profesor Hadi suatu hari saat kuliah terakhir. "Bagi saya, nilai A bukan hanya sekedar angka. Itu adalah simbol dari mereka yang benar-benar mengerti inti dari ilmu ini."

Arman merasa terhimpit. Ia tahu bahwa Profesor Hadi bukanlah orang yang mudah memberi pujian, apalagi memberikan nilai A.

Saat ujian dimulai, suasana di ruang kelas terasa mencekam. Soal-soal yang diberikan sangat sulit dan penuh dengan pertanyaan-pertanyaan mendalam. Arman berusaha keras, namun waktu seolah melarikan diri. Ia merasa tangannya mulai gemetar, dan keringat dingin mulai mengalir di dahinya. Soal yang paling sulit membuatnya bingung. Ia merasa tak mampu menjawabnya dengan sempurna.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline