Lihat ke Halaman Asli

Puasa Ngebleng

Diperbarui: 20 November 2024   14:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

lokawarta.com

lokawarta.com

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Hari itu, langit tampak kelabu, berbalut kabut tipis yang menutupi desa di ujung selatan. Angin berdesir pelan, seakan berusaha mengingatkan Sinta akan keputusan besar yang tengah ia ambil. Di ruang tamu rumahnya yang sempit dan penuh debu, Sinta duduk bersila di atas tikar usang, kitab kuning di tangannya telah mengelupas di pinggirannya. Piring kosong yang diletakkan di depan seakan mencerminkan kekosongan hatinya. Sebuah gelas air putih menjadi satu-satunya teman, yang hampir tak tersentuh sejak pagi.

Arga, suaminya, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi cemas. "Kenapa kamu harus lakukan ini, Sint?" suaranya penuh kekhawatiran, tergetar karena sudah merasa ketakutan yang mendalam.

Sinta menoleh, matanya kosong dan suaranya datar. "Karena aku harus. Tidak ada cara lain, Arga. Jika ini gagal, kita akan terus terperangkap dalam utang. Kau tahu itu."

Arga menatapnya dengan rasa tak percaya. Ia telah melihat istrinya melewati banyak puasa: Senin-Kamis, pasa mutih, bahkan ngrowot. Namun, puasa ngebleng adalah sesuatu yang berbeda. Puasa yang katanya bisa membuka pintu kemudahan, namun dengan pengorbanan yang bisa memisahkan dunia nyata dengan dunia gaib.

"Jangan, Sint... ini bukan jalan yang benar. Kau tahu bahwa ada banyak cerita buruk tentang orang-orang yang mencoba ini," kata Arga, suaranya kini bergetar, cemas akan apa yang mungkin terjadi.

Sinta menatap Arga dengan tajam. "Kamu tidak mengerti. Jika aku tidak lakukan ini, siapa lagi yang akan menyelamatkan kita dari semua ini?"

Hari demi hari, Sinta semakin tenggelam dalam ritualnya. Ia hanya minum sedikit air putih, tidak makan sedikit pun. Hanya mendengarkan takbir yang datang dari radio, mengulang doa-doa yang sulit dimengerti. Semua pekerjaan rumah ditinggalkan, anak-anaknya dibiarkan sendiri, dan rumah tampak semakin berantakan. Namun, Sinta tidak peduli. Ia percaya pada kekuatan puasa ngebleng yang akan mengubah segalanya.

Pada malam ke-7, langit di luar tampak semakin gelap. Angin berdesir lebih kencang, menggetarkan daun-daun yang berguguran di halaman. Sinta tiba-tiba terbangun dari tidurnya, tubuhnya gemetar. Wajahnya pucat pasi, matanya terbuka lebar seperti melihat sesuatu yang tak kasat mata. Sesuatu yang mengerikan.

"Arga... kau tak mengerti..." suaranya tiba-tiba berubah, serak dan dalam. "Mereka datang... mereka datang untuk menagih semuanya..."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline